BAB-5D. Adab Berziarah Dan Berdo’a Di Depan Makam Rasulallah Saw



  Sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi, bahwa adab berziarah ke kuburan orang muslimin yang diajarkan oleh Rasulallah sw. yaitu menghadapkan wajah kita kekuburan itu kemudian memberi salam dan berdo’a. Tetapi golongan Wahabi/Salafi yang menjaga disekitar makam Rasulallah saw. sering membentak orang-orang yang sedang berziarah agar waktu berdo’a harus menghadap ke kiblat.
 
Padahal banyak fatwa ulama yang mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang di-inginkan, dan tidak harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah, bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah menfatwakan masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya mustahab/baik.

Masalah tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian(dalam berbicara) melebihi suara Nabi….dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:2). 

Allah swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya’(QS.Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’. (QS.Al-Hujurat :4).
 
Rasulallah saw. adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw., padahal beliau saw. adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt. pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt.

 Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)…dan seterusnya’ "(QS. An-Nisa:64) . (Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.) Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.

Ibnu Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397, menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw., ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw., tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucap kan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya” (Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk di website ini—pen).

Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.

Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabki mengatakan sebagai berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw.menghadapkan wajah kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw.) dan para sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman 398). Lihat pula Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah.
 
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah sambil berdoa menghadap makam Rasulalallah saw, adalah haram, bid’ah sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya. Lebih heran lagi muthowwik wahabi sekitar makam Rasulallah saw tsb. tidak berani melarang famili Raja Saud atau pejabat tinggi Saudi yang ziarah disana dan berdoa menghadap kemakam beliau saw. dan tidak menghadap kekiblat (untuk bukti klik situs www.abusalafy.com. fotonya raja Abdullah ketika ziarah kemakam Rasulallah saw). 

Mereka hanya berani kepada para pendatang dari jamaah haji. Bila mereka ingin melakukan amal ma'ruf dan nahi mungkar, maka seharusnya melarang setiap orang –baik itu Raja,President maupun rakyat biasa– untuk tidak melaksanakan perbuatan yang mereka anggap haram tersebut, jadi tidak membeda-bedakannya.

Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya.

Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut:

1.
Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif), bahkan dibuat-buat (Ja’li) ”.
 
Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini di-ikuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama Wahabi lainnya.

2. Disamping dalil diatas, mereka juga berdalil dengan ayat al-Qur’an yang sama sekali tidak bisa diterapkankepada kaum muslimin, yakni firman Allah swt. dalam surat at-Taubah:84: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan)dikuburnya”.

Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin.

 Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt.. Sebagaimana yang dikatakan Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 hal.416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 hal.155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir.

Bagaimana mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya, yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Wahabi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali.
 
Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat.

 Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia yang beriman akan semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan kepada kita bagaimanaadab atau cara berziarah. Begitu juga beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa ziarah kubur disunnahkan.

Apakah Ibnu Taimiyyah dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragukan keshahihan Shahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kuburmerupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat, lantas apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan?
 
Mengapa golongan pengingkar itu tidak menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan menangis didepan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik? Mengapa mereka tidak mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Mengapa golongan pengingkar ini tidak mengatakan bahwa shalat, berdo’a dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik? 

Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang konon ajarannya akan di hidupkan kembali oleh pengikut Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?
 
Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksana kan shalat di sisi kuburan atau menangis disamping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!

3. Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini:“Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah)dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.

Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan dengan masalah sembahyang, jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali tiga masjid tersebut.

Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholatdidalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram (di Makkah), Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah)” Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.

Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah)”. (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.

Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!

4. Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar, yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahayakesyirikan dan kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah kubur. Lebih lanjut kata mereka: Sering terjadi kekeliruan waktu Ziarah Kubur misalnya:

-Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll)
-Menaburkan bunga-bunga dan meletakkan pelepah pepohonan di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan kepada beliau keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa.

-Sujud, membungkuk ke arah kuburan kemudian mencium dan mengusapnya
-Berdo’a kepada penghuni kubur. Begitu juga sering orang mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan, sehingga memilih tempat tersebut
-Memakai sandal ketika memasuki pekuburan
-Duduk, sholat di atas kubur. Shalat diatas kuburan ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda (Janganlah kalian sholat di atas kubur)

Jawabannya:

Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan ataumelarang ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran, logika dan angan-angan mereka sendiri. Begitu juga bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw. yang membolehkan dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan selanjutnya pada bab ziarah kubur ini dan lihat juga bab tawassul/tabarruk dll. dibuku ini).

Hadits Nabi saw. yang menyebutkan ‘Dahulu saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’ ziarah tersebut dan adanya dalil-dalil shohih mengenai ziarah kubur yang telah kami kemukakan. 

Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan? Sedangkan manusia yang paling taqwa dan mulia disisi Allah swt. Muhammad Rasulallah saw. telah menganjurkannya!!

Apakah beliau saw. akan menganjurkan sesuatu amalan yang mengakibatkan kesyirikan atau kemungkaran?Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para Salaf Sholeh serta para pakar islam baik pada zaman Rasulallah saw., sahabat, tabi'in maupun pada zaman berikutnya yang berziarah kemakam Rasulallah saw., kemakam para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam?, dan hanya ulama dari pengikut madzhab Wahabi/Salafi saja yang memahaminya? Kami kira para pembaca yang budiman bisa menjawabnya dengan mudah sekali.

Waktu-waktu tertentu untuk berziarah:

Rasulallah saw. tidak pernah mewajibkan maupun mengharamkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari dan pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Dimana dalilnya bahwa Rasulallah saw. mengharamkan ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu? Mengapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya?
Dalam syari’at Islam telah menyatakan adanya bulan dan hari yang mulia umpama bulan-bulan Hurum/suci(Muharram, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban, Ramadhan, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan baca keterangan pada bab nishfu Sya’ban, majlis dzikir dan lainnya pada bab lain diwebsite ini atau dikitab-kitab ulama ahli fiqih). 

Pada bulan-bulan dan hari-hari yang mulia tersebut, Allah swt. lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdo’a, beramal sholeh dan mengharapkan Rahmat dan Ampunan Ilahi.
Disamping bulan-bulan atau hari-hari biasa kaum muslimin berziarah ke pekuburan, mereka juga lebih memanfaatkannya pada bulan dan hari yang mulia tersebut untuk beramal sholeh, diantaranya berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara kaum muslimin yang berfirasat hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu orang dibolehkan berziarah, ini tidak lain hanya pikiran, karangan dan dongengan golongan pengingkar sendiri!!

Apakah mereka ini tahu hukumnya dalam Islam orang yang melarang sesuatu amalan yang halal danmenghalalkan suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya mengapa kok masih sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya sebagai amalan munkar, haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt.dalam surat An-Nahl:116; “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan in haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…sampai akhir ayat”.

Sebagaimana yang sering kami kemukakan, bahwa golongan pengingkar ini sering mengharamkan, memunkarkan, membid'ahkan sesat suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw. atau para sahabat tidak pernah melakukan, mengapa kita melakukan hal itu?. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal kalau kita teliti ,berikut ini, firman Allah swt. dalam surat Al-Hasyr :7:

وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

Artinya: Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamudilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :

وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا

Artinya: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ

Artinya: ‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmumelakukan sesuatu, maka jauhilah dia' !

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
 
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ

Artinya: ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia'!

Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon:

Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bungadiatas kuburan, tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat ketuhanan.

Sedangkan menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan juga tidak ada salahnya, Nabi saw. sendiri telah mencontohkannya didalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu Abbas ra.. Dalam hadits itu Nabi saw. ...minta pelepah pucuk kurma lalu dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain dengan berdo’a semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur)selama pelepah ini belum kering.

Dengan adanya hadits itu ummat Nabi saw. juga mencontoh perbuatan beliau saw. yakni menanamkan pelepah pohonan diatas kubur sambil berdo’a kepada ahli kubur. Dalam hadits itu tidak ada isyarat yang melarang atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw.. 

Dengan demikian bila ada kaum muslimin yang meniru perbuatan beliau saw., tidak lain karena beliau saw. sebagai contoh dari umatnya. Malah ada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya ditanamkan dua pucuk pelepah kurma. Ada juga riwayat hadits bahwa binatang-binatang yang hidup dan pepohonan itu selalu bertasbih kepada Allah swt. Nah, apa salahnya dalam hal ini?
 
Pertanyaan sekarang terhadap golongan pengingkar, mengapa mereka mengharamkan perbuatan itu sedangkan Nabi saw. tidak melarang bila ada ummatnya yang meniru perbuatannya tersebut? Mana dalilnya dari Nabi saw. bahwa orang tidak boleh menaburkan bunga atau menanam pelepah diatas kuburan? ApakahBuraidah Aslami waktu berwasiat itu tidak mengerti hukum syari’at Islam?

Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan:

Ini tidak ada salahnya selama perbuatan itu sebagai penghormatan/ta’dim saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan tidak ada salahnya selama niatnya sebagaitabarruk/pengambilan barokah (ketereangan lebih mendetail baca bab tawassul/tabarruk). 

Apakah golongan pengingkar ini masih ingat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sujudnya para malaikat kepada Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. kepada Nabi Yusuf as. Semua ahli tafsir mengatakan bahwa sujud diayat itu sebagai sujud penghormatan yang tinggi, bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati.

Kalau sujud disitu tidak dicela oleh Allah swt. karena tidak lain hanya merupakan penghormatan tinggi bukan sebagai ibadah, mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan sampai berani mensyirikkan orang yang berdiri khidmat dan lain sebagainya dihadapan kuburan Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin lainnya?Semua amalan itu tergantung dari niatnya....(hadits shohih) dan niat dihati seseorang tidak ada orang yang mengetahuinya. Kalau niat orang itu untuk menghormat atau bertabarruk kepada ahli kubur, maka tidak ada masalahnya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syari’at.

Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah maka akan hancur lah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt.!!

Bila ada penziarah kubur berkeyakinan bahwa ahli kubur (obyek yang diziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah swt.) memberi syafa’at pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita tidak boleh mengharamkan ziarah kubur karena perbuatan perorangan/ individu yang berkeyakinan salah itu. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum syari’at Islam !

Janganlah kita seenaknya sendiri tanpa dalil agama yang jelas mensyirikkan seseorang karena melihat secara lahir perbuatan orang tersebut, karena kita tidak mengetahui keyakinan dihati setiap orang. Ingatlah hadits riwayat Muslim (Shahih Muslim Bab 41 no.158 dan hadits yang sama no.159) bahwa Usamah bin Zaid ra membunuh seorang pimpinan Laskar Kafir yang telah terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah tidak serius ia (laskar kafir) mengucap syahadat, lalu Usamah membunuhnya. Betapa murkanya Rasulallah saw. saat mendengar kabar itu.., seraya bersabda: Apakah engkau membunuhnya padahal ia mengatakan Laa ilaaha Illallah!!? Lalu Usamah ra. berkata: Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah.., maka beliau saw. bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah engkau telah belah sanubarinya hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali) … ..sampai akhir hadits ? Renungkanlah !

Berdoa dipekuburan:

Cukup banyak riwayat hadits bahwa Rasulallah saw dan para sahabatnya ketika ziarah kubur mendoakan danmemberi salam kepada ahli kubur dan berdoa juga untuk diri- nya. Begitu juga banyak riwayat bahwa para sahabat, para salaf dan khalaf ketika ziarah kemakam-makam; Rasulallah saw, para sholihin sambil tawassul, bertabarruk kepada mereka. Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, 

Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka di muliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar, daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak riwayat yang menceriterakan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua tempat sama !

Syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk diwebsite ini.

Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa berbuat demikian, apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw., para Nabi, para wali, dan kaum sholihin. Dengan adanya hadits-hadits itu, para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untukahli kubur bukan berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur Rasulallah saw dan keluarganya, sahabatnya dan para wali/sholihin, yang pribadi dan amal mereka telah dibanggakan oleh Allah swt agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu. Sekali lagi silahkan rujuk ke bab Tawassul/Tabarruk di website ini.

Memakai sandal di kuburan:

Para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulama berpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah yang mewahbila tidak ada udzurnya (banyak duri dll). Jureir bin Ibnu Hazim berkata: ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur dengan memakai terompah’.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Seorang hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi terompah-terompah mereka”.
Hadits ini sebagai alasan atau dalil dibolehkannya berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar oleh simayyit bunyi terompah itu jika tidak dipakai!

Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh memakai terompah Sibtit terompah mewah dipekuburan, berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: “Rasulallah saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenalnya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkannya”. Imam Ahmad mengatakan makruhialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau najis, lenyaplah hukum makruh itu !!

Berkata Khathabi: “Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjukkan kemewahan, sebab terompah Sibtititu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah. Lalu katanya lagi: ‘Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.

Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang yang pakai sandal di pekubur
an? Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!

Duduk, sholat diatas kubur:

Duduk diatas kubur, dianggap kurang penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas hingga membakar pakaiannya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur ”.

Dengan adanya hadits itu, jumhur (pada umumnya) ulama memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkan dan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita ambil dalil dari jumhur ulama yangmemakruhkan. Hadits ini juga bisa dijadikan dalil bahwa orang yang telah wafat layak untuk dihormati, bila tidak demikian halnya, maka tidak perlu adanya hadits yang memakruhkan untuk duduk diatas pusara kubur.

Imam Nawawi berkata: “Melihat gelagat ucapan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas. Ulasnya pula: Demikian pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; Juga sama makruh hukumnya, bertelekan diatasnya dan bersandar padanya”.

Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya (boleh) duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. (Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181).

Sedangkan hadits ,riwayat Imam Bukhori, mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur “Mereka(Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada seorang yang sholeh di- antara mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung....sampai akhir hadits”dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu masih belum jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja.

 Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 hal.111) dimana beliau mengumpul- kan hadits-hadits semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram. Begitu jugahadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan.

Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai tabarrukan (pengambilan barokah) bukan sebagai arah kiblat.

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandangmakruh membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat yang tidak baik”.

Memahami omongan imam Syafi'i, bahwa sholat diatas kuburan adalah makruh jadi tidak sampai derajat haram. Begitu juga yang dimakruhkan adalah sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan. Kalau golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkan sholat disisi atau menghadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw., khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarukkan. Keterangan lebih mendetail, silahkan baca halaman selanjutnya mengenai membina masjid disisi kuburan dan memberi penerangan dikuburan diwebsite ini. Wallahu a’lam

Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan untuk orang yang telah wafat
Membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah wafat adalah pendapat jumhur (umum) dari golongan Ahlus-Sunnah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan segolongan dari sahabat Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit. Si pembaca sebaiknya mengucapkan do’a setelah pembacaan Al-Qur’an: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala seperti pahala bacaan saya itu kepada si Anu’.

Marilah kita ikuti ,berikut ini, wejangan para pakar Islam mengenai pahala bacaan untuk orang yang telah wafat.

- Berkata Muhamad bin Ahmad al-Marwazi: “Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata: ‘Jika kamu masuk kepekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al-Falaq dan an-Nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur. Maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tetapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan….’”.(Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jamaah hal.15).

- Ibnu ‘Ukeil berkata: “Jika seseorang melakukan amal kebaikan seperti sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an dan dihadiahkannya –artinya pahalanya diperuntukkan bagi mayat Muslim– maka pahala itu (sebaiknya) didahului oleh niat yang segera disertai dengan perbuatan”. Pendapat beliau ini diperkuat juga oleh Ibnul Qayyim, disetiap negeri dan membaca Al-Qur’an lalu menghadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal diantara mereka, dan tak seorangpun yang membantahnya, hingga telah merupakan ijma (kesepakatan)”.

- Berkata Ibnul Qayyim: “Ibadat itu dua macam; mengenai harta (maliyah) dan mengenai badan (badaniyah). Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadat yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, di-isyaratkan pula sampainya sekalian ibadah badaniyah. Kemudian dinyata kan pula sampainya pahala ibadah haji, suatu gabungan dari ibadah maliyah dan badaniyah. Maka ketiga macam bentuk ibadah itu –jelaslah sampainya (hadiah pahala)– baik dengan keterangan dari nash maupun dengan jalan perbandingan (Qiyas). (keterangan pembacaan Al-Qur’an kami nukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal. 217-218 cet. pertama th.1978).

- Menurut madzhab Hanafi, setiap orang yang melakukan ibadah –baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian– dan berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepadamereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Di dalam kitab Al-Kamalterdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu.

- Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang di tanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya. Begitu juga menghadiahkan pahala kurban untuk orang yang belum sempat berkurban, padahal kurban adalah melalui menumpahkan darah.

Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiahkan pahala itu boleh/ mustahab, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberikan kepada orang lain jika ia mau. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat juga?
 
Hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur’an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah miliknya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya. Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt.

– Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain –yang dilakukan orang yang masih hidup baginya–. Ia (si mayit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.

– Ibnu Taimiyah mengatakan juga: "Sesungguhnya mayit itu dapat beroleh manfaat dengan bacaan Al-Qur'an sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan yang seumpamanya" (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442)

- Berkata Syeikh Ali bin Muhamad bin Abil Iz: “Adapun membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan (pahala)nya kepada orang mati secara sukarela dengan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah Aqidah Thahawiyah hal.457)

- Berkata Dr.Ahmad Syarbasi : “Sesungguhnya jumhur ulama telah menyebutkan bahwa bacaan Al-Qur’an Karim dapat memberi manfaat kepada mayit atau sampai pahala bacaan itu kepadanya. Dan terhadap yang demikian sekelompok ulama yang lain tidak menyetujui. Dan menurut mereka yang menyukai hal tersebut, akan menjadi bagus jika si pembaca berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah seumpama pahala ayat yang telah aku baca kepada si fulan atau fulanah’”. (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 111/413).

- Ibnul Qayyim juga berkata dalam kitabnya Ar-Ruh: “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas‘Bacaan disamping kubur’, berkata: Menceriterakan kepada kami Abbas bin Muhamad ad-Dauri, menceriterakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceriterakan kepada kami Mubassyar al-Halabi, menceriterakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya, dia berkata : Berkata bapakku: ‘Jika aku telah mati, maka letakkanlah aku diliang lahad dan ucapkanlah Bismillah wa ala sunnati Rasulillah dan ratakanlah tanah atasku dan baca permulaan al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan yang demikian.

Ibnul Qayyim ini didalam kitab dan halaman yang sama juga mengutip ucapan Al-Khallal:
“Mengkabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceriterakan kepadaku Ali bin Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata: ‘Pernah aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhamad bin Qudomah al-Jauhari menghadiri jenazah, maka tatkala mayit itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk disamping kubur (sambil membaca Al-Qur’an). 

Melihat itu berkatalah Imam Ahmad kepadanya: ‘Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah’! Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah Muhamad bin Qudomah kepada Ahmad bin Hambal: ‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: ‘Beliau orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau ada meriwayatkan sesuatu darinya? Muhamad bin Qudomah berkata: ‘Ya, mengkabarkan kepadaku Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibaca akan disamping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya, dan dia berkata: Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu’. Mendengar riwayat tersebut Imam Ahmad berkata: ‘Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar diteruskan bacaan Al-Qur’annya’”.

- Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata: "Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayit dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya, sebagaimana pahala puasa dan haji juga akan sampai kepadanya"(Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442)

- Berkata Syeikh Hasanain Muhamad Makhluf ,mantan mufti Mesir, : “Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-Qur’an atau selain yang demikian daripada bermacam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya”.

- Berkata Syeikh Ali Ma’shum: “Dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayit. Yang ada khilafnya adalah masalah boleh tidak- nya membaca Al-Qur’an untuk mayit. Menurut dasar madzhab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutaakhhirin berpendapat boleh dan itulah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit dan Ibnu Farhun menukil bahwa pendapat inilah yang rojih (kuat)”. (Hujjatu Ahlis Sunnah wal-jamaah hal.13).

- Berkata Allamah Muhamad al-Arobi: “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dan sampai pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq”. (Majmu’ Tsalatsi rosaail).

- Berkata Imam Qurtubi : “Telah ijmak ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang-orang yang sudah wafat, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan Al-Qur’an, doa dan istiqfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits: ‘Setiap kebaikan adalah sedekah’. Disini tidak dikhususkan sedekah itu dengan harta”. (Tadzkirah Al-Qurtubi hal.26).

- Berkata Imam Sya’bi: “Orang-orang Anshar jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disamping- nya”. (ucapan Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya Ar-Ruh hal.13).

- Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayit dan juga tentang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir jika dihadiahkan kepada mayit, sampaikah pahalanya atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal.324: “Sampai kepada mayit pahala bacaan Al-Qur’an dari keluarganya. Dan tasbih, takbir serta seluruh dzikir mereka kepada Allah Taala apabila mereka menghadiahkan pahalanya kepada mayit akan sampai pula kepadanya”.

Dengan adanya kutipan kami yang singkat ini ,dapatlah kita ketahui bahwa banyak para ulama selain madzhab Syafi’i, yang menyetujui hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Mari kita ikuti kajian berikut ini.

- Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458:

عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhir-
nya.. ".

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).

– Ada hadits yang serupa diatas, dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.

- Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda:”Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

- Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.

Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan pahala) kalau tidak dari Rasulallah saw.? Mungkinkah para sahabat itu meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?

Ustadz Quraish Shihab ,seorang ulama di Indonesia, dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’ adalah sebagai berikut:
 
“Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantaranya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda:‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim)’.

Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memperselisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !

Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’anpada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan dimanapun berada (kecuali di WC--pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak! (Jadi bukan masalah pembacaannya! --pen.)

Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuqbahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori:

a). Disepakati tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
b). Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
c).  Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.
 
Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa para pakar Islam yang mengakui sampainya hadiah pahalabacaan, yang ditujukan untuk simayit diantaranya sebagai berikut:

"Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi (Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; 

Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya(kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Dan masih banyak lagi para ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan para pakar Islam tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya kapan dan dimana pun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.

Kita tidak boleh langsung menuduh semua amalan yang menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh diamalkan ! 

Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkanatau membid’ahkan munkar amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.

Share :

0 Response to "BAB-5D. Adab Berziarah Dan Berdo’a Di Depan Makam Rasulallah Saw"

Posting Komentar