BAB-6C. Ancaman Bagi Orang Yang Menghadiri Kumpulan Tanpa Disebut Nama Allah dan Shalawat Atas Nabi Saw.



- Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :

مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن

Artinya: “Tiada suatu golongan pun yang duduk menghadiri suatu majlis, tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tidak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.

- Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :

وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً

Artinya: ‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan... “.

Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.

- Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda yang artinya :

قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ وَعَنْ اَبِي هُرَيْرَة (ر) .صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه ابو داود

Artinya: “Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)

- Mari kita rujuk lagi hadits-hadits yang jelas berkaitan dengan dzikir secara jahar. Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata:

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ

Artinya: “Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata: Sesungguhnya dia orang gila’".
(HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)

- Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda:

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ

Artinya: “Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani).

- Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ , hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir)”.

- Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

Artinya: “Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata; ‘Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata; Tidak! ‘Akan tetapi dia itu seorang awwah(berdoa, mengadu, penghiba kepada Allah)’”.(HR.Baihaqi) .

Lihat hadits ini Rasulallah saw. tidak melarang orang yang meninggikan suara dimasjid (berdzikir secara jahar), malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu, berdoa pada Allah (beriba hati pada Allah swt.). Sifat awwah itu adalah sifat yang paling baik!
Nabi Ibrahim as juga termasuk seorang yang awwah (baca QS.Hud:75, QS.at-Taubah:114) .

- Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain; “Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah”. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul-Bijaadain sering berdzikir secara jahar).

- Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata: “Aku dikabari oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata:

اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

Artinya: ‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’“. (HR. Bukhori dan Muslim).

- Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbirbeliau (yakni ketika berdzikir)”. (HR Bukhori [ 2 :324] dalam Al-Fath Al-Bari dan oleh Imam Muslim [1:410])
Ibnu Hajr (Fath-Al-Bari 2:325) mengatakan: ‘Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah menunaikan sholat’.

- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab I’lam Al-Muqi’in [2:289] mengatakan:
“Ada ketentuan atau ketetapan (taqir atau ikrar) nabi Muhammad saw. terhadap para sahabatnya untuk mengangkat suara dalam dzikir setelah mengucapkan salam (penutup sholat wajib). Sehingga orang yang ada diluar masjid mengetahui bahwa yang didalam masjid itu telah selesai mendirikan sholatnya. Dan tidak seorangpun yang mengingkari (perbuatan) mereka (para sahabat) itu”.

Sedangkan hadits-hadits lain, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai berdzikir secara jahar seusai sholat sebagai berikut:

- Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: "Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulallah saw. dengan ucapan beliau "takbir".

- Hadits nr. 358: Dari Ibnu Abbas, katanya; "Bahwa dzikr dengan suara jahar/agak keras seusai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw. Kata Ibnu Abbas, jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang".

- Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya; "Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair, Adalah Rasulallah saw. mengucapkannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang".
(Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.)

- Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:
“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan mengangkat suara dikala para jema’ah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasulallah saw. Ibnu Abbas berkata, ‘Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir’ (yang disuarakan dengan nyaring) ". (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).

- Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

- Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata; ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.

- Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.

Dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapat kan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli, dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood beliau mengatakan sebagai berikut:

“Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu dimajlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dandisyari’atkan berdasarkan hadits (qudsi) Nabi saw.: ‘Barangsiapa berdzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200), bisa juga dijadikan sebagai dalilnya (dalil jahar)“.

Sebagian ulama hanya memakruhkan dzikir jahar yang terlalu keras (jerat jerit), begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila menyebabkan dirinyariya’ atau mewajibkan dzikir secara jahar. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan atau disyariatkan pelaksanaanyadengan cara-cara tertentu ,padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad-Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

Sedangkan Syeikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi Al-Hanbali –wafat th 1349H– dalam kitabnya Tahqiq Al-Kalam fi Masyruiyyati Al-Jahr Bi-al-Dzikir ba’da As-Salam (Menegaskan pembicaraan mengenai disyariatkan menjahar dzikir setelah mengucapkan salam) cet.Dar Al-‘Ashimah Riyadh, cet.2, 1408H hal.48, mengatakan:

“Hadits shohih dari Nabi Muhammad saw. menyebutkan bahwa menjahar dzikir setelah mendirikan sholat fardhu itu tidak mengganggu orang lain. Justru pendapat yang menentang sunnah tersebutlah yang mengganggu dan membingungkan umat Islam. Bahkan itulah kebathilan yang paling bathil dan kemungkaran yang sangat jelas karena bertentangan dengan nash. Pendapat seperti itu juga merupakan penolakan tanpa ilmu dan argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan”.

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibn Hazm dalam Al-Mahali [1V:260] Mas’alatu Raf’I Ash-Shauwti Bi-At Takbir Itsra Kulli Shalatin Hasanun [ Masalah mengangkat suara dengan takbir setelah melakukan sholat (fardhu) itu adalah baik].

- Imam Suyuti dalam kitab Natijt Al-Fikr fi Al-Jahr Bi Al Dzikr (Hasil pemikiran mengenai dzikir dengan suara keras). Karangan tersebut dimuat dan dicetak dalam kitab Imam Suyuti Al-Hawi Lil Fatawi. Imam Suyuti (Lihat Al-Hawi Lil Fatawi 1:393) mengatakan: “Bila kamu memperhatikan secara cermat hadits-hadits yang kami (Imam Suyuti) kemukakan, maka kamu akan memahami –dari keseluruhannya– bahwa menjahar dzikir setelah sholat itu tidak dimakruhkan sama sekali, justru ada isyarat untuk mensunnah kan baik isyarat tersebut secara terang-terangan atau secara tersirat saja”.

Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad; “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) .. ”. Sebenarnya hadits ini adalah lemah. Perhatikan dalam Sohih Ibn Hibban 3: 91 dan kitab Al-Maqashid Al-Hasanah karangan Al-Sakhawi ha. 207, bahwa maknanya tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang. Al-Sakhawi selanjut nya mengatakan; ‘Maknanya bahwa menyembunyikan amal, tidak mencari kemasyhuran dan berisyarat kepada seseorang dengan jari jemari tangan itu lebih baik daripada kebalikannya dan lebih menyelamatkan didunia dan akhirat. Jadi makna dzikir –dalam hadits dhoif itu– ialah as-syrah al-dzatiyah (perilaku dzatiyah manusia), yakni, bahwa al-khumul (ketidakmasyhuran) itu lebih baik daripada kemasyhuran.

Hadits terakhir diatas tersebut memang dho’if/lemah dalam sanadnya, karena mengikuti tiga jalur (thariq) yang mengandung tiga ilal (kelemahan atau penyakit) yaitu Muhamad bin Abdurrahman bin Abu Sayibah dan Al-Laitsi keduanya lemah. Sedang riwayat Ibn Abi Syaibah dari Sa’d bin Abu Waqqash itu munqathi’ah –terputus– (yakni menjadi mursalah).
Imam as-Suyuthi mengatakan kata-kata 'Sebaik-baik' dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan yang lebih utama.

Jadi hadits 'Sebaik-baik dzikir..' ,umpamanya shohih, bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.

“Imam As-Suyuthi didalam Natijatul/fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.

Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahar/jahran dan lirih/sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

Artinya: ‘‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:

1. Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Makkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini:

وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً

Artinya: ‘‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya…’ (Al Isra’:110).

Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahar), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah (oleh Allah) untuk meninggalkan cara jahar (pembacaan al-qur'an) guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

{Info: Nabi Muhammad saw. dilarang untuk mengeraskan suaranya –waktu membaca Al-qur'an dalam sholat– hanya untuk menghindari bahaya atau sekedar memenuhi keperluan saja. Sebagaimana beliau saw. pernah dilarang untuk mencela berhala-berhala dengan alasan yang sama, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya; ‘Maka janganlah kamu mencela orang-orang yang memanggil selain Allah (berhala) sehingga mereka pun mencela Allah karena permusuhan (dan) tanpa ilmu’, makna yang dikandung ayat ini telah hilang setelah muslimin mempunyai kekuatan. [Zaman sekarang –celaan terhadap berhala, baca al-qur'an secara jahar ketika sholat– semua itu boleh dilakukan, walaupun orang-orang kafir telah terang-terangan melakukan penghinaan terhadap Islam--red.]. Makna dan pemahaman seperti itu telah di-isyaratkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya. Hal ini berbeda dengan hadits-hadits shohih yang telah kami kemukakan masalah dzikir seusai sholat dan majlis dzikir---pen}.

2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Qur’an. Nabi saw. menerima perintah jahran (agak keras) membaca Al-Qur’an sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya di- waktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkannya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Qur’an yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.

3. Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulallah saw., karena beliau saw. manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh berbagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka berdzikir secara agak keras/ jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan, lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.

Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya diucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholatnya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yang serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’.” Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.

Pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz, sebagai berikut: Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis, sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a....’ ". Pertanyaan ini berkaitan dengan kelompok/majlis dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah.

- Ibnu Hajr mengatakan, bahwa pembentukan jama’ah-jama’ah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu ditengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut(amal kebaikannya) di tengah jama’ah yang lebih baik’.

Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasulallah saw.?, karena berdzikir secara sirran/lirih sudah biasa dilakukan oleh perorangan!

- Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut:
“Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”. Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang/mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah munkar !

Mari kita rujuk lagi riwayat hadits ,berikut ini, bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamahkalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana juga bacaan yang dibaca pada kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagainya).

- Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai keRauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw.; ‘jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.

- Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswas, yaitu membisikkan bisikan jahat “.

Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal yang telah dikemukakan, bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka, begitu juga dua hadits terakhir diatas mengenai adzan/iqamah. Walaupun hadits-hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an pada waktu sholat malam hari, serta bacaan adzan dan iqomah, tapi intinya sama yaitu pembacaan ayat Al-Qur’an dan bacaan kalimat-kalimat tauhid dan termasuk dzikir secara jahar. Perbedaannya adalah satu ketika sholat membacanya, yang lain diluar waktu sholat, tetapi kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan.

 Dengan berdasarkan hadits-hadits tadi, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa di dengar oleh setan-setan tersebut !

- Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagaimana katanya: Membaca Al-Qur’an maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.

Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar/jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara lirih/sirran. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara jahar dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.

Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras/jahran untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama dzikir yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang di- jadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantaranya masjid Ar Ribath.
Bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal.

Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasulallah saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata Rasulallah saw. membenarkan mereka berdua ini! (lihat; Al-Fatawa al-Haditsiyah hal. 56, Ibnu Hajr al-Haitami).

Orang dianjurkan berdzikir setiap saat baik dalam keadaan junub, haid, nifas maupun dalam keadaan suci (kecuali bacaan ayat Al-Qur’annya), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. diantaranya surat An-Nisa:103, karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus! Lain halnya dengan sholat, ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub (harus mandi dulu), sholat sunnah mutlak yang hanya niat sholat saja setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haidh, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.

Kalau kita baca ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan tadi, jelas bahwa berdzikir baik orang berdzikir sendirian, berkelompok, secara sir atau jahar/agak keras itu semua baik/mustahab dan sebagai anjuran syari’at Islam. Bagaimana tercelanya saudara kita yang selalu menteror, mencela dan mensesatkan kumpulan dzikir (tahlil/yasinan, istighotsah dan sebagainya), yang mana disitu selalu dikumandangkan; ayat-ayat Al-Qur’an, sholawat pada Nabi saw., pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan sesama muslimin? Bacaan yang dibaca didalam majlis tersebut, semuanya tidak ada larangan syari’at, malah sebaliknya banyak hadits Rasulallah saw. yang menunjukkan kebolehannya/kesunnahannya dan mendapatkan pahala.

Kita sering bertanya-tanya juga: Mengapa Para Imam didalam masjidil Haram Mekkah dan Madinah tidak pernah mengangkat suaranya waktu berdzikir seusai sholat?, padahal cukup jelas riwayat-riwayat shohih bahwa para sahabat (tokoh para salaf) berdzikir dengan jahar seusai sholat Fardhu! Apakah para tokoh Salaf ini melakukan Bid'ah atau mengada-adakan sesuatu amalan yang mungkar tanpa adanya dalil? Apakah para tokoh Salaf tersebut tidak memahami makna Firman Allah swt. dalam Surat Al-A'raf 205, ataukah golongan pengingkar yang tidak pernah menemukan riwayat-riwayat, yang telah kami kemukakan tersebut?

Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol. Jadi kedua macam cara itu dibolehkan!!

Aturan/adab (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir, menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy, dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan antara lain:
 
“Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt...”. Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa.

Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab, yang kalau dibakar asapnya berbau wangi. Bau-bauan wangi ini lebih mengkhusyukkan/mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang atau para hadirin, menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman, yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukanbila berada di ruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Makkah, Madinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah saw. mengasapi dirinya’.”

Dinegara Saudi Arabia ,central lokasi madzhab wahabi/salafi, pada waktu kami umrah 2001 bulan suci Ramadhan di Madinah, disana setiap usai sholat Isya’ di tempat sekitar Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasulallah saw.) dan disekitar Mimbar Rasulallah saw. selalu di asapi kayu gahru yang wangi. Bagi orang-orang yang pernah hadir disekitar tempat ini pada waktu tertentu itu, insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Malah kami dengar dari para jemaah haji, sampai sekarang masih diamalkan pembakaran dupa disekitar Raudhah dan mimbar Rasulallah saw. Padahal ada kelompok wahabi/salafi sering mengeritik dan membuat ceritera khurafat atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin, yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir.

Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain!

Tetapi kalau kita baca banyak hadits Nabi saw.bahwa setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengada- kan majlis dzikir. Lihatlah, karena kejahilan atau kedangkalan ilmu mengenai majlis dzikir, golongan pengingkar ini membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang di karang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut.

Mengapa golongan pengingkar ini tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Makkah dan Madinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?

Share :

0 Response to "BAB-6C. Ancaman Bagi Orang Yang Menghadiri Kumpulan Tanpa Disebut Nama Allah dan Shalawat Atas Nabi Saw."

Posting Komentar