BAB-9J. Komentar Al-Ulyani Dalam Kitab “At-Tabarruk Al-Masyru” Hal: 68-69” Mengenai Hadits Atban Bin Malik & Jawabannya


  Walaupun runtutan artikel tabarruk sebelumnya sudah mampu menjawab beberapa problem yang dilontarkan oleh golongan pengingkar, namun kali ini, kita akan mengkonsentrasikan secara khusus dalam menjawab beberapa isu pengikut sekte Wahabi yang digunakan untuk pengkafiran (menuduh kaum muslim sebagai pelaku syirik dan bid’ah) kaum muslimin. Untuk mempersingkat, kita akan ambil beberapa masalah (dibawah ini) yang sering mereka ungkapkan dengan menengok dari karya salah seorang misionaris madzhab Wahabi yang bernama Ali bin Nafi’ al-‘Ilyani yang menolak, mengharamkan atau mensyirikkan Tabarruk dan jawaban dari golongan yang membolehkan Tabarruk.

Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

“Kondisi kaum Jahiliyah dahulu, sebagaimana yang dimiliki kebanyakan manusia, mereka menginginkan mendapat tambahan harta dan anggota kabilah, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keduniawian. Dengan begitu melalui perminta berkah (tambahan) terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan mengharap tambahan kebaikan yang berlebih. Mereka meyakini bahwa patung-patung itu adalah para pemberi berkah. Anehnya, walau orang yang meyakini bahwa berkah itu datangnya dari Allah pun masih meyakini bahwa patung-patung itu adalah sarana yang mampu menentramkan dan penghubung antara mereka dengan Allah. Untuk merealisasikan yang mereka inginkan, akhirnya mereka mengambil berhala itu sebagai sarana. Hal ini sesuai dengan ayat: “…kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah denga sedekat-dekatnya…” (QS az-Zumar: 3) dari sini jelas sekali bahwa, tabarruk (mengharap berkah) selain dari Allah adalah perwujudan dari ajaran kaum musyrik zaman Jahiliyah. (Lihat: kitab Tabarruk Masyru’ halaman 53)

Jawabannya:

Selain telah kita singgung –dalam kajian terdahulu– bahwa, beberapa nabi Allah yang mengajak umat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah. Begitu juga ternyata Nabi kita (Muhammad saw) –yang sebagai penghulu para nabi dan rasul bahkan paling mulianya makhluk Allah yang pernah Dia ciptakan– pun telah membiarkan orang mengambil berkah darinya. Jika mencari berkah (tabarruk) adalah haram–karena syirik– maka tentunya para nabi di setiap zaman adalah orang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain. Namun kenapa justru mereka malah melakukannya? Lagi pula, apa yang di-isukan oleh kelompok Wahabi di atas tadi, selain tidak sesuai dengan al-Qur’an, Hadits dan bukti sejarah dari Salaf Sholeh hingga para imam madzhab, juga jauh dari logika pemahaman ayat itu (az-Zumar:3) sendiri. Beberapa alasan berikut ini:

Pertama: Semua orang tahu bahwa setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niatnya. Dengan kata lain, hal primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan kembali kepada niat. Bukankah Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya…” (Hadits Muttafaq Alaihi). Tentu, niat seorang musyrik dengan niat seorang muslim akan berbeda dan tidak bisa disamakan.

Kedua: Dalam ayat itu (Az-Zumar:3) disebutkan: “kami tidak menyembah mereka melainkan...” di situ terdapat kata “Menyembah” yang meniscayakan bahwa kaum musyrik Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan itu (sifat ketuhanan), mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah. Bukankah dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah telah memerintahkan para malaikat dan jin untuk bersujud di hadapan dan untuk nabi Adam? Bukankah nabi Ya’qub beserta anak-anaknya telah sujud di depan nabi Yusuf? Ini yang membedakan antara prilaku kaum musyrik dengan kaum muslimin, dalam pengambilan berkah. Ini merupakan hal yang bersifat esensial sekali dalam prilaku per ibadatan. Kaum muslimin selain tidak meyakini kepemilikan sifat ketuhanan selain Allah, sehingga obyek selain Allah memiliki kelayakan untuk di sembah, juga meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari kehendak Ilahi, karena hanya Dia Yang Maha kuasa nan sempurna, dan yang layak disembah.

Ketiga: Ayat dari surat az-Zumar tadi Allah swt. tidak menyatakan; “kami tidak mengambil berkah mereka melainkan…” tapi dikatakan; “kami tidak menyembah mereka melainkan…” sebagai penguat dari alasan kedua tadi. Dikarenakan kaum musyrik zaman Jahiliyah tidak meyakini adanya hari akhir –seperti disebutkan dalam akhir-akhir surat Yasin maka mereka akhirnya meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara independent dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampumenjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Tentu keyakinan kaum muslimin berbeda dengan apa yang mereka yakini. Dan tentu pula kaum muslimin tidak pernah berpikir semacam itu. Semua kaum muslim meyakini bahwa segala yang ada di alam semesta ini turun dari izin dan kehendak Allah swt., termasuk pemberian berkah. Karena Allah swt.sumber segala yang ada di alam semesta ini.

Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

Legalitas tabarruk dari tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap mulia bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari yang dinyatakan oleh ‘Atban bin Malik yang termasuk sahabat Rasulallah dari kelompok Anshar, yang turut dalam perang Badar. Ketika dia mendatangi Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah pengelihatanku, padahal aku mengimami shalat pada kaumku. Jika turun hujan maka banjir selalu menggenangi lembah yang menghubungkanku dengan mereka, sehingga aku tidak dapat mendatangi masjid mereka, dan shalat bersama mereka Aku ingin engkau datang ke rumahku dan shalat di rumahku, sehingga aku menjadikannya (tempat itu) sebagai mushalla”. Mendengar hal itu Rasul bersabda: ‘Aku akan melakukannya, insya-Allah”.

 Kemudian berkata ‘Atban: ‘Keesokan harinya, Rasul bersama Abu Bakar datang, ketika menjelang tengah hari. Rasul meminta izin masuk, dan diberi izin. Beliau tidak duduk sewaktu memasuki rumah, dan langsung menannyakan: ‘Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?’. Dijawab: ‘Aku mengisyaratkan pada salah satu sudut rumah’. Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kami pun mengikutinya berdiri dan mengambil shaf(barisan shalat). Beliau melakukan shalat dua rakaat dan kemudian mengakhirinya dengan salam” (Shahih Bukhari, jilid 1 halaman 170/175 atau Shahih Musim jilid 1 halaman 445/61/62).

Al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru” hal: 68-69” berargumen dengan hadits Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dalam kitabnya ini dia menyatakan:

“Hadits di atas tidak membuktikan bahwa sahabat ‘Atban hendak mengambil berkah dari tempat shalat Rasul. Namun ia ingin menetapkan anjuran Rasul untuk selalu melakukan shalat berjama’ah di rumahnya, ketika tidak dapat mendatangi masjid karena lembah digenangi air. Atas dasar itu ia meng- hendaki Rasul membuka (meresmikan) masjid di rumahnya. Dan oleh karenanya, Bukhari memberikan bab pada kitabnya dengan; “Bab Masjid di Rumah” (Bab al-Masajid Fil Buyuut). Sebagai- mana Barra’ bin ‘Azib melakukan shalat di masjid yang berada di dalam rumahnya secara berjama’ah. Ini termasuk hukum fikih beliau. Dari semua itu memberikan pemahaman bahwa Rasul mengajarkan (sunnah) shalat berjama’ah dirumah dikala memiliki hajat. Sebagaimana Rasul tidak pernah menegur sahabat Barra’ bin ‘Azib sewaktu melakukan shalat berjama’ah di masjid rumahnya. Padahal itu semua terjadi pada zaman pensyariatan (tasyri’) Islam. Dan mungkin saja maksud dari sahabat ‘Atban tadi adalah untuk mengetahui dengan pasti arah kiblat, karena Rasulullah tidak mungkin menunjukkan arah yang salah”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 68-69).

Jawabannya:

Itu adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadits di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa semangat sahabat ‘Atban untuk mendirikan shalat jama’ah di rumah adalah‘salah satu’ sebab, tetapi ‘bukan satu-satunya’ sebab. Karena kita dapat melihat dengan jelas, bagaimana sahabat ‘Atban sangat menghendaki tabarruk dari tempat shalat Rasulallah. Dan Nabi pun mengetahui tujuan sahabatnya itu. Atas dasar itu, Rasulallah langsung menanyakan tempat yang dikehendaki sahabatnya untuk dijadikan mushalla, dirumahnya. Jika isu sekte wahabi di atas itu benar maka selayak-nya Nabi shalat di sembarang tempat, di rumah sahabatnya tadi, mungkin di ruang tamu, ruang tengah, atau di tempat yang terdekat dengan pintu masuk. Dan kenyataannya, Nabi menanyakan terlebih dahulu; “Dimana engkau menginginkan aku melakukan shalat?”. Dengan kata lain, Rasulallah tahu bahwa sahabatnya itu akan mengambil berkah dari tempat shalat beliau saw.. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasulallah saw. langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanya- kan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.

Kedua: Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikankebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasulallah saw. kerumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasulallah lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasulallah, apalagi dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasulallah saw.. Dan dikarenakan Rasulallah hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagai mana tekts hadits) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasulallah adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasulallah hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar, buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.

Ketiga: Perkiraan penulis madzhab Wahabi tadi selain tidak sesuai dengan bukti-bukti (qarinah) yang ada, juga apa yang ia perkirakan dan yang di pahaminya tidak lebih baik dari apa yang dipahami oleh pribadi agung sepertiIbnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Syarah Bukharinya. Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani berkaitan dengan hadits tadi mengatakan:

a. “Dalam hadits ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat dirumahnya dan Nabi pun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)

b. Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)

Keempat: Taruhlah benar –jika kita terpaksa ‘bertoleransi’ dengan pendapat penulis Wahabi tersebut– apa yang dinyatakan oleh penulis Wahabi yang berkaitan dengan hadits Rasul dari sahabat ‘Atban tadi, maka bagaimana menurut para pengikut Wahabi berkaitan dengan banyak riwayat lain yang berkaitan dengan para sahabat seperti pada kasus yang dapat kita lihat diantaranya pada riwayat-riwayat berikut ini:

a. Dari Anas bin Malik; Sesungguhnya Ummu Sulaim meminta agar Rasulallah datang kerumahnya dan melakukan shalat di rumahnya supaya ia dapat mengambilnya (bekas tempat shalat Rasul) sebagai mushalla. Lantas Rasul pun datang. Dia (Ummu Sulaim) sengaja memerciki tikar dengan air, lantas Rasul melaksanakan shalat di atasnya yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. (Sunan an-Nasa’i jilid 1halaman 268 kitab masajid, bab 43 as-Sholat alal Hashir hadits 816).

b. Dari Anas bin Malik; Salah seorang pamanku membuat satu makanan, lantas berkata kepada Nabi: “Aku ingin engkau datang ke rumahku untuk makan dan shalat”. Dan (Anas) berkata: Lantas beliau datang ke rumah sedang di rumah terdapat batu-batu (hitam). Lantas beliau dipersilahkan ke salah satu sudut yang telah dibersihkan. Kemudian beliau melakukan shalat, lantas kami pun mengikutinya. (Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 249, kitab al-Masajid, bab al-Masjid fi ad-Daur, hadits 756, atau dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 130 dengan dua sanad, atau dalam kitab Musnad Anas bin Malik hadits 11920)

Hadits-hadits diatas jelas menyatakan inginnya pengambilan barokah dari Rasulullah saw, pada tempat sholat mereka, tidak seperti hadits ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani. Hadits-hadits semacam itu (Hadits ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab para imam terkemuka lainnya.

Lantas giliran kita kembali bertanya kepada pengikut sekte Wahabi: Apakah tujuan Shahabiyah Ummu Sulaim agar kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di rumahnya bersama Rasulallah sebagaimana tujuan sahabat ‘Atban yang telah meminta Nabi saw. shalat di rumahnya, untuk menunjukan arah kiblat? Apakah ada tujuan lain yang dapat kita lihat dalam fenomena Ummu Sulaim selain tabarruk (mencari berkah) dari Rasulullah saw? Apakah paman sahabat Anas tadi –yang tentu- nya pengelihatannya masih kuat– juga bertujuan sama seperti sahabat ‘Atban yang pengelihatannya sudah lemah, untuk mengetahui dan memastikan arah kiblat?

Jika tujuan mereka bukan untuk mengambil berkah dari tempat shalat Nabi bahkan ingin menjelaskan kepada Rasulallah saw. akan ketidakhadirannya di shalat jama’ah Rasul, apakah tidak cukup sekedar memberitahu(meminta izin) Rasulallah akan penyebab ketidakhadirannya di masjid untuk melakukan shalat jama’ah karena adanya uzur atau terdapat kepentingan lain sehingga diketahui oleh Nabi? Mengapa mereka malah meminta Rasulallah saw. melakukan shalat di bagian tertentu dari rumah- nya sehingga mereka nantinya juga akan shalat di tempat tersebut?

Ada sebagian golongan Wahabi berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan,namun wilayah dan tempat bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga (tidak berpindah lokasinya) dan dapat dikenali oleh banyak orang. Ditempat-tempat bangunan asli itulah, dahulu Nabi beserta para sahabat beliau melakukan shalat dan ibadah ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab standart Ahlusunah wal jama’ah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid lainnya, selain masjidil Haram tentunya. Riwayat-riwayat semacam itu akan banyak kita dapati dalam buku-buku hadits terkemuka Ahlusunnah. Tentu di sini kita tidak akan menyebutkan hadits-hadits atau bukti sejarah karena mengingat banyaknya halaman dibuku ini.

Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

“Jika seseorang tinggal di Makkah, Madinah ataupun Syam untuk meng harap berkah dari Allah dari tempat tersebut, baik dari sisi berkah rizki mau pun menghindari fitnah maka ia akan diberi kebaikan yang banyak. Namun jika seseorang melampaui batas dalam bertabarruk dengan cara menyentuh-nyentuh tanah, batu, pohon-pohonan yang ada di daerah tersebut atau meletakkan tanahnya di air untuk pengobatan atau semisalnya maka hal itu akan menyebabkan dosa, bukan pahala. Karena ia telah melakukan tabarruk yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul dan para generasi pertama Islam”. (Lihat: Tabarruk Masyru’ halaman 42).

Jawabannya:

Untuk menjawab isu sekte Wahabi dalam masalah ini, mari kita perhatikan poin-poin di bawah ini:

Dalam kajian yang lalu telah kita sebutkan bahwa, para sahabat yang tergolong Salaf Sholeh telah sering melakukan pengambilan berkah dengan mengusap-usap mimbar Rasulallah sembari berdo’a. Sahabat Ibnu Umar mengusap bekas tempat duduk Rasulallah di atas mimbar kemudian mengusapkan kedua telapak tangannya ke raut wajahnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, termasuk Rasulallah saw. telah mengusap-usap kepala dan badan seseorang sembari mendo’akannya yang menunjukkan bahwa terdapat kekhususan dalam usapan beliau saw. Karena jika tidak, maka do’a Rasul untuk kesembuhan mereka saja sudah cukup, kenapa mesti harus pakai mengusap-usap anggota tubuh seseorang?

Apa tujuan Rasulallah saw. melakukan hal tersebut kalau bukan memberikan barakah yang beliau miliki, hasil karunia khusus Ilahi yang diberikan kepada setiap kekasih-Nya? Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sekali riwayat yang ada. Di sini kita akan sebutkan beberapa dari riwayat tersebut, sebagai contoh saja:

a. Ummul Mukminin Aisyah ra. pernah menyatakan: “Sesungguhnya Nabi pernah membaca do’a perlindungan untuk sebagian keluarganya dengan mengusap tangan kanannya sembari mengucapkan do’a: ‘Ya Allah, Tuhan manusia, jauhkanlah bencana (darinya). Sembuhkanlah ia, karena Engkau Maha penyembuh. Tiada obat selain dari-Mu. Obat yang tidak menyisakan penyakit…’ ” (Sahih Bukhari jilid:7 halaman: 172)

b. Dari Abi Hazim mengatakan; aku mendapat kabar dari Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw. pada perang Khaibar bersabda: “Akan aku serahkan panji (bendera perang) ini besok kepada seseorang yang Allah akan membuka (pertolongan-Nya) melalui kedua tangan orang tersebut. Dia (orang tadi) adalah seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah beserta Rasul-Nya pun mencintainya”. Ia (perawi) berkata: “Akhirnya orang-orang begadang untuk menunggu siapakah gerangan yang akan di anugerahi panji tadi. Ketika pagi telah tiba, orang-orang mendatangi untuk mengharap dianugerahi kemuliaan tadi”. Perawi berkata: Rasul bersabda: ‘Dimanakah Ali bin Abi Thalib?’. Dijawab: ’Ada wahai Rasul. Ia sedang sakit mata’. Rasulallah bersabda: ‘Datangkanlah ia’! Lalu di datangkanlah Ali. Kemudian Rasulallah memberikan ludah- nya ke mata Ali sembari mendo’akannya. Sembuhlah penyakitnya seakan tidak pernah mengalami sakit. Kemudian Rasulallah memberikan panji tersebut kepada Ali”. (Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 hal. 333; as-Sunan al-Kubra karya Nasa’i jilid 5 hal. 46/108; Musnad Abi Ya’la jilid 1 hal. 291; al-Mu’jam al-Kabir karya Tabrani jilid 6 hal. 152 dan kitab Majma’ az-Zawa’id jilid: 6 halaman: 150).

c. As-Samhudi berkata: “Dahulu, jika Rasulallah dikeluhi oleh seseorang akibat luka atau borok, lantas beliau mengatakan ungkapan tersebut pada jarinya sembari meletak- kan jempol (tangan) beliau ke tanah, kemudian mengangkatnya dengan mengungkapkan: ‘Dengan menyebut nama Allah, dengan debu tanah kami, dan denganludah sebagian dari kami, akan disembuhkan penyakit kami. Dengan izin Allah’ ”. (Wafa’ al-Wafa’ jilid 1 hal. 69. penjelasan semacam ini juga akan kita dapati dalam hadits Sahih Bukhari jilid 7 hal. 172 dari Ummul Mukimin Aisyah dengan sedikit perbedaan redaksi)

Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa tanah Madinah memiliki keberkahan khusus dari Allah untukkesembuhan penyakit. Itu semua berkat keberadaan Rasulallah saw. bersama para kekasih Allah , baik dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan para manusia sholeh lainnya. Kita akan melihat beberapa contoh saja dari hadits-hadits Rasulallah saw. tersebut:

a. Rasulallah bersabda: “Debu Madinah menjadi pengobat dari penyakit sopak” (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

b. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya melalui debunya (Madinah) menjadi penyembuh dari segala penyakit”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 halaman 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

c. Rasulallah bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya tanahnya (Madinah) adalah pengaman dan penyembuh penyakit sopak”. (Kanzul Ummal, karya Mutaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 13 hal. 205 atau kitab Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi as-Syafi’i jilid 1 halaman 67)

Jika tanah Madinah secara umum memiliki keberkahan semacam itu maka bagaimana dengan tanah di sisi pusara Rasulallah saw. yang disitu jasad suci beliau saw. –makhluk Allah termulia dikebumikan? Lantas salahkah (tergolong bid’ah atau syirik) dan tidakkah sesuai dengan ajaran (hadits) Rasulallah jika ada seseorang yang mengambil tanah Madinah untuk mengambil berkah darinya, baik untuk mengobati penyakitnya, atau sekedar disimpan untuk bertabarruk? Mana yang sesuai dengan ajaran Rasul; orang yang bertabarruk dengan tanah Madinah, ataukah yang menyatakan bahwa bertabarruk terhadap tanah semacam itu tergolong bid’ah atau syirik, sebagaimana yang diaku oleh kelompok Wahabi?

Ini semua menjadi bukti bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan beberapa kemuliaan kepada beberapa tempat, yang kemudian disakralkan oleh masyarakat muslim. Madinah beserta tanahnya tergolong tempat yang di muliakan oleh Allah swt. dengan anugerah khusus semacam itu. Sehingga di sakralkan oleh kaum muslimin, sesuai dengan apa yang diungkapkan melalui lisan suci Rasulullah saw. Jika Nabi sendiri –sebagai makhluk Allah termulia, pembenci Syirik nomer wahid– menjadikan tanah mulia penuh berkah kota Madinah sebagai sarana (wasilah) pengobatan (tabarruk), apakah pengikut beliau dapat divonis bid’ah atau syirik ketika mengikuti ajaran dan saran beliau saw. tadi?

Jika tanah Madinah dinyatakan sebagai penuh berkah, karena Rasulallah pernah hidup di sana dan dikebumikan di situ, lalu bagaimana dengan Hajar Aswad, rukun-rukun (pojok-pojok) yang berada di Ka’bah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, gua Hira’ dan gua Tsur yang semua adalah tempat-tempat sakral dan bersejarah buat Nabi dan orang-orang yang mencintai junjungannya tersebut? Apakah ketika bertabarruk dari tempat-tempat semacam itu lantas divonis dengan bid’ah dan syirik, sebagai mana kita lihat perbuatan kelompok sekte Wahabi terhadap kaum muslimin dari pelosok dunia yang menjadi tamu Allah d haramain?Mengapa kaum Wahabi melarang dengan keras orang yang ingin ‘menyentuh’, ‘mengusap’ dan ‘mencium’ hal-hal sakral tadi untuk bertabarruk, dengan alasan bid’ah dan syirik, atau alasan karena tidak ada contoh langsung dari Rasulallah?, padahal banyak sekali contoh dari Rasulallah saw. dan salaf Sholeh !! Siapakah sekarang yang bid’ah, golongan muslimin yang mengikuti sunnah Rasulallah saw. atau golongan pengingkar ini ?
Kami sayangkan, madzhab Salafi (baca.Wahabi) dan pengikutnya selalu merasa paling benar dan paling mengerti dalam hukum syari’at. Semoga Allah swt. memberi hidayah kejalan yang benar kepada semua kaum muslimin. Amin

Golongan Wahabi/Salafi (pengingkar) mengisukan:

Salaf Sholeh telah melarang pengambilan berkah dan penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas, ats-Tsauri, Ahmad dan sebagainya. Imam Ahmad pernah berkata: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? ‘Pergilah dan tulislah hadits’!. Dan sewaktu beliau ditanya tentang sesuatu maka akan menjawab: ‘Bertanyalah kepada ulama’!. Ketika ditanya tentang penjagaan diri (wara’) beliau mengatakan: ‘Haram buatku berbicara tentang wara’, jika Byisr hidup niscaya ia akan menjawabnya’. Beliau juga pernah ditanya tentang ikhlas, lantas menjawab: ‘Pergilah kepada orang-orang zuhud ! Kami memiliki apa sehingga kalian datang kepada kami?’. Suatu saat seseorang datang kepadanya dan mengusapkan tangannyake bajunya dan kemudian mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkari hal tersebut dengan keras sembari berkata: ‘Dari siapa engkau mengambil perkara semacam ini’ (Lihat: Tabarruk Masyru’ hal. 86).

Jawabannya:

Untuk menjawab isu penulis madzhab Salafi/Wahabi di atas, hendaknya kita perhatikan beberapa poin di bawah ini:

Terbukti bahwa ternyata penulis Wahabi tadi memahami sesuatu hal yang berbeda dengan kenyataannya. Apa yang dilakukan para imam madzhab tadi dalam mengingkari tabarruk orang-orang terhadap dirinya, bukan berartipengingkaran mereka terhadap keyakinan tabarruk itu sendiri. Harus dibedakan antara mereka melarang orang ber- tabarruk kepada dirinya, dengan dari semula menentang keyakinan tabarruk. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan bahwa, para imam madzhab itu sendiri telah melaku- kan tabarruk.

Dan apa yang disunting oleh penulis Wahabi tadi tidak lain adalah tergolong sikap ‘rendah diri’ (tawadhu’) para imam madzhab tadi, terkhusus berkaitan dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dimana kita tahu bahwa ‘tawadhu’’ merupakan salah satu bentuk dan sikap nyata dari setiap ulama yang sholeh. Terbukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menvonis orang yang bertabarruk terhadapnya dengan sebutan-sebutan pengkafiran sebagaimana yang dilakukan oleh sekte (Wahabisme) yang konon mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dari sisi metode (manhaj)dan pola pikir, serta sepak terjangnya. Itu semua karena para ulama madzhab tahu bahwa tabarruk bukantergolong prilaku syirik ataupun bid’ah yang harus disikapi tegas dengan bentuk pengkafiran, seperti yang dilakukan sekte Wahabi. Dengan bukti lain bahwa, mereka sendiri –sebagaimana yang telah kita singgung di urutan artikel tabarruk sebelumnya telah melakukan tabarruk terhadap para ulama dan manusia sholeh yang hidup sezaman atau sebelum mereka. Bahkan sebagian mereka telah bertabarruk terhadap kuburan para ulama dan manusia sholeh.

Kalaulah ungkapan Imam Ahmad tadi tidak diartikan sebagai sikap tawadhu’ beliau, bahkan diartikan dengan sebenarnya, maka ungkapan beliau seperti: ‘Siapa diriku sehingga kalian datang kepadaku? Pergilah dan tulislah hadits’! atau ungkapan beliau; ‘Bertanyalah kepada ulama’, meniscayakan bahwa kita (kaum muslimin, juga pengikut sekte Wahabi) tidak perlu menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai rujukan, karena beliau bukan ulama. Namun terbukti bahwa, ternyata kelompok Wahabi pun yang selama ini ‘mengaku’ (konon) menjadikan Imam Ahmad sebagai panutannya, justru tidak konsisten terhadap ungkapan Imam Ahmad tadi. Lalu mana konsistensi kelompok Wahabi dalam memahami dan melaksanakan ungkapan Imam Ahmad?

Bila kita toleransi lagi dengan sekte Wahabi dan membenarkan pendapat mereka bahwa Imam Ahmad bin Hanbal melarang orang bertabarruk dengan pribadi orang, maka larangan Imam Ahmad itu pun terbantah dengan banyak hadits shohih yang telah kami kemukakan diatas yang melegalkan Tabarruk, termasuk Imam Ahmad sendiri ikut meriwayatkannya. Jadi yang benar ialah Imam Ahmad tidak mengharamkan Tabarruk tetapi yang melarang Tabarruk itu ialah imam dari sekte Wahabi dan pengikutnya itu sendiri dengan mengatas namakan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah !

Entah dalil mana lagi yang dijadikan argumen oleh golongan pengingkar dalam menyatakan kesyirikan dan kebid’ahan prilaku tabarruk atau tawassul Mereka tidak memiliki argumen apa pun berkaitan dengan hadits, riwayat, maupun bukti sejarah, apalagi al-Quran yang membuktikan bahwa tabarruk adalah perbuatan bid’ah mau pun syirik!!

Dari sini jelas sekali bahwa, Allah swt. telah menganugerahkan kesakralan khusus kepada beberapa obyek tertentu dari makhluk-Nya agar manusia menjadikannya sebagai sarana tabarruk atau tawassul. Dan terbukti bahwa Nabi Muhammad bin Abdillah saw. bukan hanya tidak melarang, bahkan beliau sendiri telah mencontohkan kepada umatnya bagaimana melakukan tabarruk dari obyek-obyek sakral tadi. Dan ajaran itu berjalan terus dari generasi ke generasi hingga kita sekarang ini.

Walaupun kajian kita secara khusus berkaitan dengan tabarruk, namun dari seri kajian tabarruk ini pun kita juga telah bisa menetapkan secara global bahwa, obyek tabarruk dapat kita jumpai pada berbagai bentuk, seperti:

1- Tempat; seperti; Kota Madinah, Arafah, Muzdalifah, Mina, gua Hira, gua Tsur, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, atau makam-makam orang sholeh…dsb.nya

2- Benda; seperti; Mushaf Al-Quran, semua penginggalan Nabi, Sahabat, Ulama dan manusia sholeh lainnya…dsb.nya

3- Orang/pribadi agung; seperti; mengenang manusia-manusia mulia dari para nabi, syuhada’, shalihin berkaitan dengan zaman kelahiran, wafat atau momen-momen penting dalam sejarah hidup mereka…dan sebagainya. Atas dasar itu para pecinta Rasul sering membaca berbagai bentuk shalawat dan puji-pujian untuk Rasul, seperti tercantum didalam kitab-kitab Maulid Diba’, Burdah, Barzanji, Shalawat Badr…dan sebagainya.

4- Waktu; seperti; waktu-waktu yang disakralkan oleh Allah secara langsung atau yang berkaitan dengan momen khusus kehdupan manusia kekasih Ilahi. Atas dasar itu kaum muslimin memperingati acara-acara seperti; Maulid Nabi, Isra’ mi’raj, Nuzulul Quran…dan sebagainya. Wallahu A’lam.

Dengan contoh riwayat-riwayat –perbuatan-perbuatan sahabat baik dizaman hidupnya Rasulallah saw atau sesudah wafatnya atau perbuatan para salaf yang telah kami kemukakan diwebsite ini–, cukup bagi kita bahwatabarruk atau tawassul itu mustahab/baik malah menjadikan do’a dan amalan kita lebih cepat diterima oleh Allah swt. Orang-orang yang mengingkari atau menyesatkan amalan tersebut tabarrruk, tawassul merekalah yang membuat bid’ah, yang menyembunyikan hadits-hadits shohih atau memutar balik maknanya.
 
Memang golongan pengingkar ini tidak bisa membedakan antara tabarruk, tawassul, ta’dzim denganpenyembahan atau pengkultusan. Dengan pengharaman, pensyirikan mereka tentang masalah ini, seakan-akan mereka ini merasa lebih pandai, taqwa dan lebih mengetahui syari’at Islam dibandingkan dengan Rasulallah saw., para kerabat, para sahabatnya serta para pakar Islam yang melakukan tawassul, tabarruk , ta’dzim dan sebagainya !
 
Begitu juga tidak ada terlintas dipikiran orang-orang muslimin bahwa mereka menyembah Ka’bah, karena ruku’, sujud menghadap bangunan batu tersebut atau menyembah hajar aswad karena mencium dan mengusap-usapnya atau meyembah kuburan karena berdiri khidmat dihadapan kuburan atau mencium kuburan itu. Bila ada seorang muslim yang berkeyakinan bahwa dia beribadah demi karena Ka’bah, Hajar Al-Aswad dan kuburan, maka akan hancurlah keimanan dan ke Islamannya.

Jadi yang penting semuanya disini adalah keyakinan atau niat dalam hati, karena semua amal itu tergantung pada niatnya Apa salahnya bila orang ingin mencium, mengusap kuburan Rasulallah saw.atau para ahli taqwa lainnya, selama niat orang tersebut hanya sebagai ta’dzim, tabarruk bukan sebagai penyembahan ?

Insya Allah dengan keterangan sederhana dan dalil-dalil mengenai tawassul, tabarruk yang cukup jelas ini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk mengetahui amalan mana yang diridhoi oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semoga hidayah dan taufiq dari Allah swt., selalu dilimpahkan pada kaum muslimin. Amin.

Insya Allah dengan adanya kutipan sederhana ini, bisa memberi manfaat bagi kami sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin lainnya dan kita semua bisa melaksanakan amalan-amalan yang diridhoi-Nya, sehingga kita tidak mudah atau gampang melontarkan kata-kata kepada kaum muslimin yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu tersebut mengusap-usap, mencium dan sebagainya bekas-bekas para Nabi, wali…. yang telah kami kutip dan kumpulkan syirik, munkar atau sesat dan sebagainya ! Wallahu a'lam.

Share :

0 Response to "BAB-9J. Komentar Al-Ulyani Dalam Kitab “At-Tabarruk Al-Masyru” Hal: 68-69” Mengenai Hadits Atban Bin Malik & Jawabannya"

Posting Komentar