BAB-7M. Shalat Tarawih


  Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilaksanakan kaum muslimin , baik kaum pria maupun wanita, setelah shalat Isya’ ,yang ketika itu belum dikenal dengan nama shalat tarawih, pada bulan Ramadhan. Rasulallah saw sendiri melakukannya serta menganjurkan umatnya untuk menunaikannya juga. Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dan umat Islam generasi berikutnya. Dinamakan shalat tarawih karena shalat tersebut cukup lama dan setiap selesai melakukan empat rakaat pelakunya istirahat dulu kemudian melanjutkan shalatnya. Itulah sebabnya dia terkenal dengan sebutan shalat tarawih.
 
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab berkata: “tarawih adalah jama’ dari tarwihah, berasal dari kata roohah. Sama dengan tasliimah yang berasal dari kata salam. Shalat dibulan ramadhan itu disebut tarawih, karena orang-orang pada istirahat dulu setelah selesai mengerjakan empat rakaat. Ibnu Manzur selanjutnya berkata: Roohah yang berarti istirahat adalah lawan kata dari ta’ab yang berarti letih atau capek. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi saw bersabda kepada Bilal: ’istirahatkanlah kami wahai Bilal’. Artinya kumandangkanlah adzan shalat, maka aku akan dapat istirahat dengan jalan menunaikannya”.

Disini Nabi saw menyatakan bahwa dirinya baru dapat merasa istirahat apabila beliau menunaikan shalat, karena didalam shalat terdapat munajat (komunikasi rahasia) dengan Allah swt. Karena itulah Nabi kita saw bersabda: “Ketenangan hatiku dijadikan pada waktu shalat”.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan shalat dalam bulan ramadhan:

Hadits riwayat imam Muslim dari Abu Hurairah ra , berkata: “Rasulallah saw menggemarkan ibadah dibulan ramadhan, akan tetapi beliau tidak menganjurkannya dengan keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa banyak beribadah dibulan ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunkan baginya dosa-dosanya yang terdahulu’”.

Maksud hadits ini ialah siapa yang menghidupkan malam-malam ramadhan dengan shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an berdasarkan iman dan ikhlas, maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu yakni dosa-dosa kecil.

Ibnu Qudomah dalam kitabnya Al-Mugni mengatakan: “Shalat tarawih itu hukumnya sunnat muakkadah dan orang pertama yang melaksanakannya adalah Rasulallah saw”.

Berkaitan dengan ini terdapat sebuah hadits dimana Aisyah ra.berkata: “Pada suatu malam Nabi shalat dimasjid, maka para sahabat pun mengikuti beliau shalat. Kemudian beliau shalat dimalam berikutnya, maka para sahabat (yang akan ikut shalat) menjadi semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat para sahabat berkumpul (dimasjid untuk shalat bersama beliau saw). Namun ternyata Rasulallah saw, tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya beliaupun bersabda: ‘Saya telah mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku kalau-kalau shalat itu diwajibkan atasmu”. Yang demikian itu terjadi dibulan ramadhan. (HR Muslim).

Jumlah rakaat shalat Tarawih:

Shalat tarawih ini termasuk sunnah muakkadah (yang ditekankan) sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam beberapa hadits dan jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat tanpa witir. Apabila dengan witir maka jadilah ia 23 rakaat. Demikianlah sunnah yang telah disepakati oleh umat Islam baik salaf maupun khalaf, sejak zamannya khalifah Umar bin Khattab hingga zaman kita sekarang. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara ahli fiqih imam madzhab yang empat, kecuali imam Malik.

Dalam riwayat imam Malik yang kedua dimana beliau berpendapat bahwa shalat tarawih itu adalah 20 rakaat lebih hingga 36 rakaat, sesuai dengan amalan penduduk Madinah. Nafi’ pernah meriwayatkan bahwa imam Malik berkata:“Aku mendapatkan orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 39 rakaat. Sudah termasuk diantaranya 3 rakaat shalat witir”. Namun demikian riwayat yang masyhur dari beliau adalah shalat tarawih itu 20 rakaat. Dan riwayat dari beliau inilah yang disepakati oleh mayoritas ulama baik dari Syafi’yah, Hambaliyah maupun Hanafiyah bahwa rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir.

Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa sebabnya penduduk Madinah melakukan shalat tarawih 36 rakaat hanyalah karena mereka ingin mengimbangi shalat tarawihnya penduduk Mekkah. Penduduk Mekkah selalu melakukan tawaf 7 putaran, setiap selesai satu tarwihah (yakni 4rakaat atau 2 kali salam). Penduduk Mekkah dalam setiap tarawih (setiap 4 rakaat tarawih) itu melakukan 4 kali tawaf sampai tarwihah yang keempat. Adapun setelah tarwihah yang kelima yakni yang terakhir, mereka tidak melakukan tawaf lagi tetapi langsung shalat witir. Oleh karenanya penduduk Madinah mengganti satu tawaf yang tidak bisa mereka lakukan di Madinah itu dengan tarawih 4 rakaat, sehingga tambahan shalat tarawih mereka ini menjadi 16 rakaat (4x 4), dengan demikian jumlah keseluruhan rakaat tarawih mereka menjadi 20 ditambah 16 yakni 36 rakaat.

Namun ditekankan sekali lagi bahwa apa yang yang dilakukan oleh para sahabat Nabi adalah lebih utama dan lebih berhak untuk diikuti. Begitu juga zaman sekarang di Saudi Arabia ,baik di Mekkah atau di Madinah atau ditempat lainnya, shalat tarawih 20 rakaat ditambah 3 shalat witir.

Dalil-dalil para imam Mujtahid shalat 20 rakaat:

Dalil imam-imam madzhab yang empat, sehingga menfatwakan bahwa rakaat shalat tarawih itu 20 adalah sebagai berikut:

– Hadits riwayat Baihaqi dan selainnya dengan isnad shorih dan shohih dari Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi yang terkenal dimana beliau berkata: “Para sahabat melaku- kan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra pada bulan ramadhan dengan 20 rakaat”.

– Hadits riwayat imam Malik dalam Al-Muwattho dan juga riwayat imam Baihaqi dari Yazid bin Ruman, beliau berkata: “Para sahabat melakukan ibadah malam dizamannya Umar bin Khattab ra dengan 23 rakaat”. Yakni 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir.

– Hadits riwayat Al-Hasan: “Bahwasanya Umar ra.mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu beliau mengimami mereka shalat tarawih 20 rakaat. Beliau beserta segenap jamaah tidak melakukan qunut, kecuali pada pertengahan ramadhan yang kedua. Apabila sepuluh yang terakhir dari bulan ramadhan telah tiba, maka beliau tidak keluar (kemasjid). Beliau melakukan shalat dirumah, sehingga orang-orang pada berkata: ‘Ubay bin Ka’ab telah melarikan diri’ “.

– Imam Qudomah didalam kitabnya Al-Mughni mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ para ulama mujtahid mengenai shalat tarawih 20 rakaat. Beliau menolak imam Malik yang mengatakan didalam riwayatnya yang kedua, bahwa shalat tarawih itu 36 rakaat. Beliau berkata: ‘Qiyamullail dibulan ramadhan yakni shalat tarawih adalah 20 rakaat dan hukumnya sunnat muakkadah’. Beliau juga berkata: “Pendapat yang terpilih menurut Abu Abdillah yakni Ahmad bin Hambal adalah bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. Inilah juga pendapatnya Imam Tsauri, imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i. Adapun imam Malik (dalam riwayatnya yang kedua) berkata: ‘bahwa tarawih itu 36 rakaat. Hal ini karena berdasar kan kepada amalan penduduk Madinah’ “.

– Syeikh Ali as-Shobuni berkata bahwa yang masyhur didalam madzhab Maliki adalah shalat tarawih 20 rakaat. Berdasarkan ini, maka sepakatlah para imam Mujtahidin atas ke utamaan dari tarawih 20 rakaat.

– Dalam kitab Aqrobul Masalik ‘ala Madzhabil imammi Malik tulisan Syeikh Dardiri jilid 1/552 dikatakan bahwa shalat tarawih dibulan ramadhan itu adalah 20 rakaat sesudah shalat isya’ dengan melakukan salam setiap selesai dua rakaat.

– Didalam kitab ‘Mukhtashar al-Muzanni’ disebutkan bahwasanya imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku melihat penduduk Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak 39 rakaat. Namun demikian yang lebih saya sukai adalah 20 rakaat, karena itulah yang diriwayatkan oleh sahabat Umar. Begitu juga penduduk Mekkah, selalu melakukan shalat tarawih 20 rakaat dengan 3 witir”.

– Imam Turmudzi dalam kitabnya ‘Sunan Turmudzi’ berkata: “Kebanyakan ahli ilmu berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Umar, Ali serta yang lainnya daripada sahabat sahabat Nabi saw, bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. Inilah pendapat Sufyan Tsauri, Ibnul Mubarak dan imam Syafi’i. Berkata imam Syafi’i: ‘Seperti inilah yang saya dapatkan di negeri kita Mekkah, dimana penduduknya melakukan shalat tarawih 20 rakaat’”.

– Berkata Ibnu Rusdi dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid : “Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, imam Ahmad dan juga imam Malik –dalam salah satu pendapatnya– memilih shalat tarawih yang 20 rakaat selain witir”.

– Berkata Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu III/526: “Menurut madzhab kita, shalat tarawih itu adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir. Ini berarti ada lima tarwihah, karena satu tarwihah mengandung empat rakaat dengan dua kali salam. Inilah yang dikatakan oleh Abu Hanifah beserta para sahabatnya. Begitu juga imam Ahmad, Daud dan yang selainnya. Qadhi Iyadh juga telah menukil hal yang sama dari mayoritas ulama”.

– Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa mengatakan: “Telah tetap bahwa Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama orang-orang dibulan Ramadhan 20 rakaat di tambah 3 rakaat witir. Maka berpendapatlah kebanyakan ulama bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin Ka’ab melaksanakannya dihadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya”.

– Didalam kitab Majmu’atul Fataawa an-Najdiyah, syeikh Abdullah Muhamad bin Abdul Wahab berkata ketika menjawab pertanyaan tentang jumlah rakaat shalat tarawih bahwa Umar ra ketika mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab shalat mereka itu adalah 20 rakaat”.

Dengan adanya sekian banyak kutipan tentang rakaat shalat tarawih, baik itu dari ulama salaf maupun khalaf, nyatalah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin sekarang ini dan yang hak dan benar yakni tarawih 20 rakaat. Itulah yang dikuatkan dengan amalan para sahabat (tokoh dari para salaf) Nabi saw dan kesepakatan para ulama mujtahidin yang empat itu. Dengan demikian orang yang mencela dan membid’ahkan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat, sama halnya mereka mencela para sahabat dan para mujtahidin yang telah kami kemukakan tadi.

Dalil-dalil orang yang membantah shalat tarawih 20 rakaat:

Mereka yang tidak menyetujui shalat tarawih 20 rakaat, beralasan sebuah hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari siti Aisyah ra, berikut ini:

“Nabi saw tidak pernah shalat malam melebihi 11 rakaat baik dibulan ramadhan maupun selainnya”. Berdasarkan hadits ini, menurut mereka, shalat tarawih itu hanyalah 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Adapun hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat –seperti yang telah dikemukakan– tidak pernah mereka perdulikan, bahkan mereka mengatakan sebagai hadits-hadits dhaif.

Jawaban:

Apa yang diriwayatkan oleh siti Aisyah itu adalah shalat Nabi saw yang beliau lihat. Hal ini tentu saja tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat yang lebih dari 11 rakaat, karena Aisyah ra hanyalah salah satu dari sembilan isteri Nabi saw. Dan tidaklah mungkin Nabi kita saw disetiap malamnya tidur ditempat siti Aisyah, sehingga hal itu bisa ditetapkan sebagai hukum yang pasti. Aisyah ra hanyalah menceriterakan kepada kita tentang shalat Nabi saw yang beliau lihat.

Buktinya juga bahwa siti Aisyah pernah bersaksi bahwa beliau sama sekali tidak pernah menyaksikan Nabi saw melakukan shalat dhuha, sebagaimana yang tersebut dalam shahih Muslim hadits dari Syihab dari Urwah dari Aisyah dimana beliau berkata: “Saya sama sekali tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw melakukan shalat dhuha –dan saya (Aisyah ra) sendiri melakukannya–. Sesungguhnya Rasulallah saw kadangkala meninggalkan satu amal perbuatan walau sebenarnya beliau ingin melakukannya. Hal ini semata-mata karena beliau khawatir orang-orang akan melakukannya, lalu diwajibkan kepada mereka oleh Allah swt”. Seperti ini kesaksian siti Aisyah dalam hal shalat dhuha.

- Padahal yang telah ditetapkan dalam beberapa hadits Nabi saw adalah bahwa beliau saw terus menerus melakukan shalat dhuha dan berwasiat kepada Abu Hurairah ra untuk tidak meninggalkannya. Hal ini tersebut dalam hadits riwayat imam Muslim dari Abi Hurairah beliau berkata:
“Kekasihku tercinta (yakni Nabi Muhammad saw) berpesan kepadaku dengan tiga hal ,aku tidak akan meninggalkannya selama hidupku, yakni puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dan tidak tidur sebelum shalat witir”.

- Diriwayatkan juga dalam shahih Muslim dari Abdurrahman bin Abi Laila , beliau berkata: “Tidak seorangpun yang memberitahu saya bahwa dia melihat Nabi saw shalat dhuha kecuali Ummu Hani. Sesungguhnya dia telah menceriterakan bahwa Nabi saw masuk kerumahnya pada hari pembukaan kota Mekkah lalu beliau shalat delapan rakaat. Saya sama sekali tidak pernah melihat beliau melakukan shalat yang lebih ringan dari shalat ini, hanya saja beliau tetap menyempurnakan ruku dan sujudnya”.

Dengan adanya riwayat diatas dan riwayat lainnya yang tidak tercantum disini masalah shalat dhuha, maka sesungguhnya perkataan siti Aisyah bahwa Nabi saw tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat pada bulan ramadhan maupun selainnya, adalah menurut yang Aisyah ra ketahui dirumahnya. Dan hal itu tidaklah menutup kemungkinan bahwa Nabi saw melakukan shalat yang lebih banyak dari itu ditempat istei-isteri beliau yang lain. Sebagaimana hal itu ditetapkan dari hadits riwayat Ibnu Abbas, Zaid dan sahabat-sahabat yan lain, sehingga Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam tambahan musnadnya dari sayidina Ali ra, beliau berkata: “Rasulallah saw pernah melakukan shalat malam sebanyak 16 rakaat selain shalat yang difardhukan”.

Begitu juga apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra itu bertentangan dengan riwayat imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Ibnu Abbas ra, dimana beliau berkata: “Rasulallah saw pernah melakukan shalat malam sebanyak 13 rakaat”.Dalam riwayatnya yang shohih ini ternyata Nabi saw pernah melakukan shalat malam melebihi 11 rakaat.

Dan bertentangan juga dengan riwayat Muslim dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwasanya beliau berkata : “Demi Allah, saya benar-benar menyaksikan dengan seksama shalat Rasulallah saw pada suatu malam. Ternyata beliau shalatdua rakaat yang ringan, kemudian dua rakaat lagi yang panjang, dua rakaat lagi yang panjang, dua rakaat lagi yang panjang, kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya, kemudian dua rakaat yang lebih panjang dari sebelumnya. Lalu Zaid bin Khalid Al-Juhani menyebutkan hadits tersebut hingga beliau berkata: ‘Kemudian Rasulallah shalat witir’, maka yang demikian itu berjumlah 13 rakaat”.

Karena itulah Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: Para ulama berpendapat bahwa dalam hadits-hadits ini masing-masing dari Ibnu Abbas, Zaid dan ‘Aisyah ra hanyalah menceriterakan apa yang beliau lihat dari Rasulallah saw dan tidaklah ada perselisihan bahwa shalat malam (termasuk tarawih) tidak ada ketentuan jumlah rakaatnya secara pasti, sehingga (orang)tidak boleh ditambah dan dikurangi. Dan bahwasanya shalat malam itu termasuk diantara perbuatan taat ita kepada Allah swt yang apabila bertambah jumlahnya, maka ber- tambah pula pahalanya.

Al-Hafiz Ibnul Iraqi berkata dalam kitabnya Tharhut Tatsrib : “Para ulama telah sepakat bahwa shalat malam itu tidak memiliki ketentuan rakaat yang pasti. Akan tetapi riwayat-riwayat yang berbeda itu adalah dalam hal berapa rakaat yang dikerjakan oleh Nabi saw”.

Sebagai bukti shalat malam itu tidak memiliki batasan rakaat yang tertentu adalah hadits marfu’ riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ra: “Lakukanlah shalat witir sebanyak lima, tujuh, sembilan atau sebelas rakaat atau yang lebih banyak dari itu”. Hadits ini disahihkan oleh Ibnul Iraqi sebagaimana tersebut dalam kitab Nailul Authar dan Tuhfatuz Zaakirin.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa jilid 1, berkata:“Sesungguhnya sahabat Ubay bin Ka’ab melakukan shalat tarawih bersama orang-orang dibulan ramadhan dengan 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Maka banyaklah para ulama berpendapat bahwa itulah yang sunnah, karena Ubay bin Ka’ab melakukannya ditengah-tengah orang Muhajirin dan Anshor dan tidak seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. 

Ulama yang lain memandang baik jika dilakukan 39 rakaat dengan alasan bahwa itulah amalan penduduk Madinah sejak dulu. Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa shalat tarawih itu 13 rakaat tetapi mereka kurang mantap dengan pendapatnya ini, lantaran sunnah khulafa’ur Rosyidin dan yang dilakukan oleh kaum muslimin menetapkan 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir). 

Yang benar bahwa semua pendapat itu baik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dan juga karena ibadah malam dibulan ramadhan itu tidak ditentukan jumlah rakaatnya. Dengan demikian, maka memperbanyak jumlah rakaat atau menguranginya tergantung pada lama atau sebentarnya ketika berdiri. Sesungguhnya Nabi saw melamakan waktu berdiri dalam shalat malam, hingga ada dijelaskan dalam hadits yang sahih bahwa beliau dalam satu rakaat membacasurat Al-Baqarah, surat Ali Imran dan surat An-Nisa. Maka lamanya berdiri itu sudah mencukupi dari memperbanyak rakaat. 

Sedangkan Ubay bin Ka’ab ketika beliau shalat tarawih dengan kaum muslimin dalam satu jamaah dimasa Umar bin Khattab, beliau shalat dengan 20 rakaat, karena lamanya berdiri bisa memberatkan jamaah yang lain. Maka disitu melipat-gandakan jumlah rakaat adalah sebagai ganti lamanya berdiri. Bahkan ada sebagian ulama salaf yang melakukan shalat tarawih 40 rakaat”.

Beginilah dalil-dalil yang dikemukakan mayoritas kaum muslimin, yang melakukan shalat tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Pendapat para ulama –yang dikemukakan tadi– telah membuktikan betapa salahnya tuduhan orang-orang yang tidak menyetujuinya, dimana mereka menuduh bahwa siapapun yang melakukan shalat tarawih melebihi 11 rakaat adalah pelaku Bid’ah yang sesat dan dia sama halnya melakukan shalat dhuhur 5 rakaat. 

Sebagaimana sebagian dari mereka menulis, berikut ini: ‘Bukankah orang yang menambah shalat tarawih hingga 20 rakaat itu sama dengan orang yang melakukan shalat bertentangan dengan shalatnya Nabi saw, yang telah dinukil dari beliau melalui sanad-sanadnya yang sahih. Maka dia seperti orang yang shalat dhuhur 5 rakaat dan shalat sunnah fajar 4 rakaat. Dia juga seperti orang yang shalat dengan 2 kali ruku dan beberapa kali sujud (didalam tiap rakaatnya)”.

Bukankah ucapan seperti ini adalah kejahilan dan kesalahan yang sudah jelas, karena bagaimana mungkin mereka –yang selalu mengaku diri alim dan punya intelektualitas yang tinggi dalam berbagai masalah agama– sampai bisa meng-qiyaskan shalat fardhu dengan shalat sunnah dan penambahan shalat tarawih dibulan ramadhan sama seperti penambahan shalat fardhu. 

Orang awam saja akan bisa membedakan antara orang yang shalat dhuha 4 rakaat dengan orang yang shalat maghrib 5 rakaat. Dia akan mengatakan bahwa shalat dhuha adalah sunnah, boleh dikerjakan melebihi 4 rakaat, sementara yang maghrib adalah shalat wajib, yang tidak boleh dikerjakan melebihi 3 rakaat. 

Orang awam juga akan bisa membedakan antara meninggalkan shalat isya dengan meninggalkan shalat tarawih. Ia akan mengatakan bahwa meninggalka shalat isya adalah perbuatan dosa karena itu berarti telah meninggalkan shalat fardhu, sementara meninggalkan shalat tarawih bukanlah perbuatan dosa karena ia hanyalah shalat sunnat.Wallahu a’lam. Semoga mereka yang tidak suka shalat tarawih 20 rakaat atau tidak suka orang melakukan shalat tarawih, bisa merenungkan hal ini…..Amin.

Share :

0 Response to "BAB-7M. Shalat Tarawih"

Posting Komentar