BAB-7Q. Menentukan Hilal Awal Masuknya Ramadhan & Bulan Syawal


  Setiap kali kita selalu melihat dan mendengar perbedaan antara kaum muslimin mengenai kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya dari ibadah bulan ini, yakni awal masuknya bulan syawal ‘idul Fithri. Tidak lain salah satu sebab perbedaan itu ialah karena sebagian besar/mayoritas negara-negara Muslim didunia ini untuk memutuskan kapan awal masuk bulan Ramadhan dan bulan Syawal tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulallah saw. yaitu dengan jalan ru’ya dinegaranya masing-masing atau Negara yang segaris bujur dengannya, dan sebagian golongan lainnya dengan jalan perhitungan astronomi (hisab) kapan kemungkinan hilal bisa dilihat, sedangkan sebagian lainnya mengikuti Negara Islam yang sudah melihat bulan dimanapun juga. Semuanya ini, manakah yang lebih mendekati kebenaran Sunnah Rasulallah saw.?

Sebagian besar kaum muslimin baik yang di Indonesia atau didunia lainnya mengikuti amalan-amalan ibadah menurutmadzhabnya masing-masing dan setiap madzhab mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri. Umpama golongan madzhab Imam Syafi’i akan mengikuti amalan ibadah menurut madzhabnya, golongan madzhab Imam Maliki akan mengikuti madzhabnya, golongan Wahabi/Salafi juga akan mengikuti madzhabnya dan seterusnya. 

Didalam syari’at Islam tidak dlarang orang mengikuti salah satu madzhab, karena imam dari semua madzhab yang terkenal tersebut mengeluarkan pendapatnya dengan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., apalagi empat imam besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad- rohimahumullah) yang sudah dikenal dikalangan kaum muslimin. Malah buat orang-orang awam diwajibkan untuk bertanya kepada ahli ilmu.

Pada umumnya setiap pengikut madzhab ini segan dan tidak mau mengikuti suatu amalan ibadah yang diamalkan oleh madzhab selain madzhabnya, bila amalan ibadah tersebut berlawanan dengan paham madzhabnya sendiri . Karena menurut wejangan para pakar Islam seseorang yang mengikuti salah satu madzhab misalnya Madzhab Syafi'i, dia tidak boleh mengamalkan suatu amalan yang berlawanan dengan pendapat madzhabnya ini. Jangan lagi kita yang awam ini, para ulama pakar diantaranya; Imam Nawawi, Imam ad-Dahlawi, Imam Izuddin bin Abdussalam mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal, begitulah seterusnya.

Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid (mengikuti) kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil. Kami tidak akan mengutip lagi pembahasan mengenai taqlid Imam madzhab, karena sudah kami kemukakan sebelumnya disitus ini dalam bab Taqlid kepada para imam madzhab, bagi yang berminat silahkan merujuknya.
Berikut ini, kami mengutip dalil hadits Nabi saw. untuk melakukan ru’ya (penglihatan) hilal kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan bulan Syawal.

Dalil-dalil Ru’ya:

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim: “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id)bila melihatnya (hilal). Dan jika terhalang oleh awan (sehingga hilal tidak bisa dilihat), maka cukupkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
 
Hadits diatas ini mutawatir, semua madzhab termasuk empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [ra] ) sepakat bahwa awal masuk Ramadhan dan Idul Fithri/Idul Adha harus melalui Ru’ya (bukan dengan Hisab).

Begitu juga hadits itu walaupun mengenai awal masuknya bulan ramadhan/Idul Fithri tetapi juga berlaku kapan masuknya bulan Dzul Hijjah (bulan haji). Kalimat hadits diatas ini jelas, mencakup pengertian harus dengan ru’ya kapan mulai masuk awal bulan Ramadhan dan awal masuknya Idul Fithri. Dan hadits ini jelas menegaskan bila hilal tidak bisa dilihat karena ada halangan (mendung dll) maka kita harus mencukupkan bilangan bulan sebelumnya 30 hari. Karena bilangan bulan menurut Islam hanya 29 atau 30 hari, sebagaimana sabda Rasulallah saw. ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]

Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan pendapat para fukaha lainnya lebih menegaskan lagi mengenai ru’yah ini bahwa penglihatan hilal itu harus adanya saksi-saksi yang adil. Untuk masuknya bulan Ramadhan cukup dengan satu saksi yang adil sedangkan untuk masuknya ‘Idul Fithri membutuhkan dua saksi yang adil. Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah saw hanyalah menetapkan "Melihat bulan" (rukyatul hilal) satu sebab dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya bulan ataupun dengan cara menghitungnya(hisab). Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah saw. ‘Apabila tidak berhasil melihatnya (walaupun secara perhitungan astronomis [hisab] mungkin sudah ada—red) menyuruh ummatnya menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari.

Perbedaan/perselisihan yang ada diantara para ulama madzhab ialah: Apakah cukup dengan adanya satudaerah/Negara Islam didunia yang telah melihat hilal awal Ramadhan/’Idul Fithri, semua penduduk muslimin diduniawajib mengikutinya? Jadi perbedaan para ulama madzhab ini bukan masalah antara Ru’ya dan Hisab ! Memang ada sebagian ulama zaman akhir ini yang membolehkan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dengan hisab, tetapi mayoritas dari ulama madzhab terutama madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh mayoritas penduduk dinegara kita dan Negara tetangga Malaysia, Mesir dll dengan jalan Ru’ya, karena hal ini yang lebih mendekati kebenaran dan sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. dan para sahabatnya.

Para ulama yang mengatakan wajib -seluruh ummat Islam didunia- mengikuti satu daerah yang telah melihat hilal awal Ramadhan/Idul Fithri dengan alasan bahwa hadits Rasulallah saw. diatas ini umum yaitu tertuju kepada seluruh ummat didunia. Jadi jika salah seorang dari mereka telah menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti ru’ya tersebut berlaku untuk seluruh ummat didunia. Tetapi pendapat para ulama ini dibantah oleh para ulama pakar pada umumnya (jumhur ulama) yaitu mewajibkan Ru’ya setiap daerah/Negara Islam. Diantara para ulama yang membantah ini ialah ‘Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishak, Imam Syafi’i dan lain sebagainya yang mengatakan: ‘Sebagai ukuran bagi penduduk setiap negeri ialah penglihatan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak perlu terpengaruh oleh penglihatan penduduk dinegara lainnya’.

Mereka ini berdalil pada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain dari Kuraib ra. yang arti kalimatnya sebagai berikut:
 
“Saya (Kuraib ra) pergi ke Syam dan sewaktu berada disana muncullah hilal Ramadhan, dan saya saksikan sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan (Ramadhan,red.), saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu ‘Abbas ra kemudian teringat olehnya (Ibnu Abbas ra) hilal yang katanya; ‘Bilakah kelihatan oleh tuan-tuan hilal (diSyam --red.)? Kelihatan oleh kami malam jum’at, ujar saya (Kuraib ra). Apakah anda sendiri melihatnya?, tanya Ibnu ‘Abbas. Benar, jawab saya (Kuraib ra), juga dilihat oleh orang banyak, hingga mereka berpuasa, termasuk diantaranya Mu’awiyah. Tetapi kami (Ibnu Abbas ra dan para sahabat lainnya--red) melihatnya (di Madinah) malam Sabtu, Kata Ibnu ‘Abbas, hingga kami akan terus menerus berpuasa sampai cukup 30 hari. Entah kalau kelihatan (hilal) sebelum itu. Tidakkah cukup menurut anda penglihatan dan berpuasanya Mu’awiyyah ?, tanya saya (Kuraib ra). Tidak ! ujar Ibnu Abbas, begitulah yang dititahkan Rasulallah saw. kepada kami ! (HR. Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqi (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan: Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas.
Rawi-rawi hadits ini tsiqah dan kuat. Pribadi dan ilmunya Ibnu ‘Abbas sudah jelas tidak diragukan lagi oleh setiap orang muslim dan mu’min; Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas; Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir ; Muhammad bin Abi Harmalah, Rawi semuanya dipakai oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lainnya. (Lht. keterangan Ibnu Hajar dalam Taqribut-Tahdzib mengenai para rawi ini)

Dalam Fathul ‘Allam Syarah Bulughul Maram tercantum : “Yang lebih dekat kepada kebenaran ialah keharusan bagi setiap negeri mengikuti ru’yahnya, berikut daerah-daerah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan negeri itu “.Imam Turmudzi juga berkata: hadits ini hasan lagi shohih dan gharib serta menurut para ulama mengamalkan hadits ini berarti bagi tiap-tiap negeri itu berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya !! Imam Daruquthni juga berkata: Sanad (Hadits) ini Shahih.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa hadits gharib berarti hadits yang lemah. Pendapat yang demikian itu adalah kurang tepat dan salah karena hadits gharib tidak menghilangkan keshahihan hadits itu. Ibnu Katsir sendiri berkata: "Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

Ada lagi yang berpendapat bahwa hadits Kuraib itu adalah kata-kata Ibnu ‘Abbas sendiri kepada Kuraib bukan sabda Rasulallah saw., oleh karenanya tidak bisa dibuat dalil. Pendapat seperti ini adalah pendapat yang salah karena yang pertama menyalahi pendapat para ulama: ‘Jumhur (umumnya) ulama berpendapat bahwa (semua lafadh-lafadh di atas) yang demikian menjadi hujjah/dalil. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) sahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi saw. kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal sahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)". Sedangkan yang kedua; mungkinkah atau beranikah Ibnu ‘Abbas menjawab atas pertanyaan Kuraib dengan menisbatkan kepada Rasulallah saw. kalau sekiranya bukan dari Nabi saw.?, sebagaimana jawabannya kepada Kuraib: ‘Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami’ ! Sudah tentu tidak mungkin

Makna hadits Kuraib itu jelas sekali ialah:
Penduduk Syam melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at sehari sebelum penduduk Madinah yang melihatnya padamalam Saptu. Bila bulan tidak bisa dilihat karena halangan awan/mendung, penduduk Medinah akan terus berpuasa sampai tiga puluh hari dihitung dari mulai awal Ramadhan di Madinah (malam Saptu), tetapi bila melihat bulan sebelumnya maka penduduk Madinah akan berpuasa selama dua puluh sembilan hari. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulallah saw.: ‘Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari’. [Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dan lain-lain]. Dan hadits Rasulallah saw. mengenai umur bulan sebagaimana sabda beliau saw.: ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]

Begitu juga dalam hadits itu Kuraib bertanya ‘Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah’ dan dijawab oleh Ibnu Abbas dengan tegas, Tidak! Jawaban ini sangat jelas bahwa setiap daerah/ negeri berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya. Dengan demikian kita tidak boleh mengikuti NegaraSaudi Arabia yang telah melihat hilal awal masuk bulan Ramadhan atau Syawal bila negeri kita pada saat yang sama belum kelihatan hilal awal masuk bulan Ramadhan atau bulan Syawal ! Hal ini telah disepakati oleh para ulama pakar ahli hadits diantaranya: Imam Tirmudzi; Imam Nasa’i; Imam Syafi’i; Imam Ahmad; Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi; Al-Majmu 'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi; Ihkaamul Ahkaam Syarah 'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.; Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah; Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy; Fathul Bari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar; Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani; Subulus Salam (juz 2 hal 150-151); Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd dan lain-lain.

Dengan demikian hadits terakhir dari Kuraib ini menguatkan hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lainnya yaitu “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal)…. Hadits pertama ini juga mewajibkan adanya Ru’yah hilal untuk mengetahui masuknya awal Ramadhan/ ’Idul Fithri,sedangkan hadits Kuraib diatas menganjurkan juga Ru’yah dan wajibnya Ru’yah bagi setiap negeri !! Sedangkan hadits yang jelas masalah Hisab tidak diketemukan !

Ahli Falak sendiripun membantah ulama yang mengatakan seluruh dunia wajib mengikuti satu Negara yang dimana disitu terlihat hilal. Diantara alasan bantahan ahli Falak ialah :

a). Bumi ini tidak rata bukan seperti kue lapis, waktu terbenam bulan dan matahari seluruh dunia tidak sama.
b). Posisi bulan & matahari, atas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati diseluruh dunia tidak semuanya sama (derajad ketinggiannya, beda ukuran sudut bulan dan matahari, beda waktu terbenam bulan & matahari, beda umur bulan dihitung sejak perkiraan hilal dapat diamati [ump.Hilal berumur 16 jam untuk daerah tropis dan lebih dari 20 jam untuk daerah yang lebih tinggi] dan lain sebaginya)
c) Permukaan bulan yang tersinari matahari dan menghadap kebumi harus mencapai minimal 1 % untuk memungkinkan bisa dilihat dan lain-lain.

Maka dari itu sampai sekarang banyak Negara Islam yang berbeda penentuan kapan mulai masuknya awal Ramadhan dan idul Fithri atau Idul Adha. Tidak lain mayoritas Negara Islam tersebut melihat Ru’ya dinegaranya masing-masing. Mereka memegang sunnah Rasulallah saw. yang lebih mendekati kebenaran di antaranya hadits Kuraib tersebut. Sayangnya masih ada sebagian muslimin yang fanatik pada pahamnya sehingga mewajibkan puasa kepada seluruh umat islam sedunia, bila ada satu negeri Islam yang telah melihat hilal. Ada lagi hanya ikut2an dan mengambil keringanan fatwa para ulama, walaupun pendapat ulama ini berlawanan dengan madzhabnya dan madzhab jumhur ulama.

KETERANGAN SINGKAT MENGENAI PERHITUNGAN ASTRONOMI (HISAB):

HISAB berasal dari bahasa Arab "hasaba" artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi hisab adalah kiraan, hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi benda-bendalangit. Posisi benda langit yang dimaksud disini adalah lebih khusus kepada posisi matahari dan bulan dilihat dari pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya; shalat fardu menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan hijriyah dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan menghitung posisi matahari dan bulan. Ilmu Falak yang mempelajari kaidah-kaidah Imu Syariah tersebut dinamakan Falak Syar'i (Ilmu Falak + Ilmu Syariah = Falak Syar'i).

Di Indonesia nama yang populer adalah Falak saja. Hisab dan Rukyatul hilal tidak bisa dipisahkan dari Ilmu Falak/Astronomi, oleh sebab itu kebanyakan peralatan hisab dan rukyat juga merupakan peralatan Ilmu falak/Astronomi.Idealnya rukyatul hilal atau melihat hilal dilakukan dengan mata telanjang (naked eye) sesuai dengan pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Asal kita tahu teknik dan ilmunya maka rukyat dengan mata telanjang menjadi jauh lebih efektif dibandingkan menggunakan peralatan bantu optik. Sebab yang paling penting adalah kualitas sumber daya manusianya bukan pada alatnya. 

Kontroversi boleh tidaknya menggunakan alat bantu dalam melakukan rukyatul hilal memang masih terdengar, namun menurut beberapa ulama sah-sah saja menggunakan alat bantu asal tidak menyimpang dari hakikat rukyatul hilal yaitu menyaksikan langsung lahirnya hilal (bulan sabit muda). Penggunaan peralatan optik maupun peralatan pencari lokasi sebatas digunakan untuk membantu mempermudah pelaksanaan rukyatul hilal dan tidak menyalahi ketentuan yang ada, termasuk penggunaan teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan infra merah, radar maupun satelit palacak. Dengan adanya ilmu pengetahuan maka sekarang bisa dilihat via computer kapan lahirnya bulan, munculnya dsb.nya dan kapan bulan itu bisa terlihat.

Sebenarnya Methodologi penentuan awal bulan Qomariah untuk menandai permulaan ibadah puasa dan sholat idul fitri adalah hanya dengan melihat bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly), sedangkan methode perhitungan astronomi (hisab) dipakai sebatas untuk membantu prosesi rukyat. Jadi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, kita tetap mengadakan ru’yah pada malam tersebut, apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat !

Termasuk di Indonesia selalu mengawali masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha dengan Ru’yah. Pemerintah juga menerima Hisab dari minoritas ummat muslimin diantaranya golongan Muhammadiyyah, tapi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, pemerintah tetap mengirim instansi untuk melihat (ru’yah), apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat !

 Bila hilal pada waktu ditentukan hisab itu bisa dilihat maka pemerintah juga mengumumkan masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri, tapi bila sebaliknya hilal pada waktu yang ditentukan Hisab tersebut. tidak bisa dilihat maka pemerintah mencukupkan hitungan tiga puluh hari. Jadi ilmu hisab itu hanya digunakan untuk kapan orang bisa mulai melihat (ru’yah) awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri, jadi bukan dijadikan sebagai penentuan hari awal masuknya bulan Ramadhan atau Idul Fithri. Karena penentuan awal masuknya bulan Ramadhan/idul Fithri harus ditentukan dengan Ru’ya pada hari ke 29 setelah maghrib!

Ahli Falak ini, sampai sekarang masih berdasarkan pada perkiraan yang mendekat belum 100% benar. Buktinya mereka belum sepakat dan masih ada perbedaan di kalangan mereka dan kesimpang siuran hasil perhitung an (hisab) mereka dalam menentukan; malam munculnya hilal, derajad ketinggian bulan diatas ufuk setelah matahari terbenam, usia bulan kemungkinan bisa dilihat (Imkanur Ru’yah) dan lain sebagainya. Dengan adanya tidak kesepakatan antara mereka ini serta perkiraan yang belum 100% benar maka sampai sekarang mayoritas dari para ulama masih mengambil kepastiannya dengan jalan Ru’yah.

Menurut sebagian ulama, apabila datang suatu saat dimana ilmu Falak bisa menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat dan semua ahli Falak sepakat dalam menentukan wujudnya Hilal serta telah ber-ulang2 ketetapan perhitungan mereka sehingga mencapai derajad kepastian seperti halnya perhitungan mereka tentang hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa….), maka dengan sendirinya para ulama semua sepakat untuk mengikuti ucapan mereka ini.Sedangkan sampai sekarang mayoritas ulama masih menggunakan ru’yah untuk lebih pastinya!!!

ULIL AMRI

Para ulama mewajibkan rakyat mengikuti apabila pemerintahannya (yang mana didalamnya terdapat para ulama atau mereka bermusyawarah dengan para ulama setempat) telah memutuskan penetapan awal atau akhir bulan. Adapun dalil dari ketetapan hukum ini ialah:

a. Firman Allah dalam al Qur'an surat an Nisa' ayat 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasulnya dan pemimpim-pemimpin kalian". (QS. An Nisa' : 59). Sebagaimana kita ketahui bahwa taat kepada para pemimpin tidaklah boleh pada hal-hal yang bersifat maksiyat atau keluar dari hukum syari’at Islam.

Dan kita yakin bahwa disaat pemerintah memerintahkan warganya untuk berpuasa, sesuai dengan ketentuan syariat dalam menentukan hilal, maka ini bukanlah termasuk dalam perbuatan maksiyat yang kita tidak boleh mentaatinya. Akan tetapi tidak lain semua ini masih dalam koridor ijtihad yang diikrarkan oleh Syari'at. Artinya, disaat agama telah membolehkan pemerintah untuk berijtihad dalam menentukan hilal puasa, Syawal maupun Dzulhijjah, maka tindakan pemerintah ini adalah sebuah ibadah yang wajib ditaati oleh seluruh warga.

b. Allah juga berfirman dalam surat an Nur ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta di saat mereka dalam sebuah keputusan yang telah diambil bersama, maka mereka tidak akan keluar dari kesepakatan itu sampai mereka meminta izin kepadanya (Rasulullah)". (QS. An Nur ayat: 62)

Dalam ayat diatas, begitu jelas Allah mengambarkan sifat seorang mukmin yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta tidak keluar dari keputusan jamaah sampai dia memperoleh izin dari Rasulullah atau wakilnya (pimpinan/kholifah yang datang setelah beliau saw.)

Pada kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah saw., bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim. Sebagaimana dalam hadits: "Datang seorang badui ke Rasulullah saw. seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku telah melihat hilal’. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah saw. bersabda:

 ‘Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah’? Dia berkata: ‘Benar’. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: ‘Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’? Dia berkata: ‘ya benar’. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok".

Dalam hadits badui yang telah disebutkan diatas sudah sangat jelas bahwa dia (badui) yang melihat hilal secara langsung wajib melaporkan kesaksiannya kepada Rasulallah saw. (pemimpin), kemudian pada akhirnya Rasulallah lah yang akan menetapkan permulaan puasa atau hari raya.

Sebagaimana juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Ibn Umar yang berkata: ”Suatu ketika aku mengabari Rasulullah saw.bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), spontan beliau berpuasa dan juga memerintahkan orang-orang untuk berpuasa".

Dengan demikian pemimpinlah (baca: pemerintahan Islam) yang akan memutuskan kapan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha.Para fuqoha juga sepakat bahwa, bagi mereka yang melihat hilal secara langsung akan tetapi persaksiannya ditolak oleh pemerintah maka dia wajib berseberangan dengan keputusan pemerintah akan tetapi dengan sifatnya individu (dia sendirian berpuasa atau berbuka/ idul fithri) dan tidak boleh menampakkannya dihadapan halayak umum. Dan ini juga berlaku bagi mereka yang meyakini akan kejujuran mereka yang ditolak kesaksiannnya.

Sebagaimana dalam teks-teks berikut:

1. Dalam kitab al-Muhaddzab fiqh Syafi'i dijelaskan: "Barangsiapa melihat hilal sendirian, maka dia harus berpuasa. Demikian juga di saat dia melihat bulan Syawal, maka diapun wajib berbuka. Sebagaimana sabda Nabi: "Berpuasalah disaat kalian melihatnya, dan berbukalah disaat kalian melihatnya". Berbuka disaat melihat bulan Syawal dengan secara sembunyi-sembunyi, karena apabila dia menampakkan bahwa dia sedang berbuka, maka secara tidak langsung dia menjatuhkan diri sendiri pada tuduhan dan hukuman sang Sulthon/sang pemimpin". (Kitab al Muhadzab, juz 1, hal 324)

2. Dalam kitab Syarah Mukhtashor Kholil madzhab Maliki disebutkan: Kesimpulannya, bahwa orang-orang pada bulan puasa terbagi tiga kelompok: Dia yang melihat hilal secara langsung, atau mendengar langsung dari orang yang melihatnya, atau mendengar dari orang yang mendengar dari orang yang melihat. Maka yang wajib berpuasa adalah golongan pertama dan kedua. Adapun golongan ketiga tidak wajib atasnya kecuali sang hakim telah menetapkan hari itu sebagai awal puasa".

3. Sedangkan khusus bagi mereka yang ahli hisab. "Apabila seorang ahli perbintangan (astronom) mengetahui masuknya waktu (ibadah, baik shalat, puasa, haji dan lain-lain) dengan cara hisab, pengarang kitab "Al Bayan"menjelaskan: ‘Bahwa yang mu'tamad (pendapat yang lebih benar) dalam madzhab (Syafi'i) yaitu dia bisa memakainya sebagai pedoman ibadah hanya untuk dirinya sendiri, dan orang lain tidak boleh mengikutinya’ ".

Jelas sekali disini bahwa penggunaan methode astronomi (hisab) tidak merupakan penentu hukum kepada masyarakat.

Bagaimana dengan muslimin yang tinggal dinegara non Muslim?

Dalam Islam yang dimaksud Ulil Amri adalah pemimpin dari golongan ulama, karena mereka inilah yang bisa mengatur masyarakat sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam, jadi bukan sembarang orang awam atau suatu perwakilan pemerintahan yang disana tidak ada ulama yang cukup menguasai hukum-hukum syair’at Islam. Bila disatu Negara non Muslim yang disana tidak ada jama’ah ru’yah hilal maka kita diharuskan mengikuti Negara muslim yang berdekatan atau segaris bujur dengannya, dengan syarat Negara ini memulai masuknya awal bulan Ramadhan/idul Fithri dengan jalan Ru’ya juga, bukan dengan jalan Hisab atau mengikuti Negara Islam lainnya. Hal yang demikian ini sesuai dengan sunnah Rasulallah saw. yang telah kami kemukakan diatas. Wallahu a’lam. Semoga Allah swt. mengampunkan dosa kita dan dosa kaum muslimin dan memberi hidayah pada kita kejalan yang lurus yang diridhoi oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin

Share :

0 Response to "BAB-7Q. Menentukan Hilal Awal Masuknya Ramadhan & Bulan Syawal"

Posting Komentar