BAB-9G. Diantara Dalil-Dalil Orang Yang Membantah Serta Jawabannya


  Walaupun sudah banyak riwayat dan keterangan mengenai mustahabnya tawassul/istighotsah terhadap pribadi yang mulia baik yang masih maupun telah wafat, masih ada saja golongan yang melarang sampai berani mensyirikkan tawassul ini. Tawassul/Istighotsah ini dilegalkan oleh agama dan tidak hanya dikhususkan tawassul pada Rasulallah saw. saja, tetapi boleh juga tawassul pada waliyullah, orang-orang sholihin lainnya.
 
Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:

Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan:
“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang diperbolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.

Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan---pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.
 
Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.

Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak membenarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).

Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.
 
Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.

Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal kebajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasulallah saw. tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.

Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil ,oleh golongan pengingkar, untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:

“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk mendekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)

َلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا

Artinya: “...Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)

لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ

Artinya: “Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (QS.Ar-Ra’ad : 14)

Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lain yang semakna tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandangan. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !

Juga golongan pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :

وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْم لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ لِنَفْسٍ شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ

Artinya: “Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (QS.Al-Infithar:17-19)

Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.

Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ

“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (QS.Ali Imran : 128)

Dan firman-Nya lagi :

قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلآ ضَرًّا

Artinya: “Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (QS.Al-A’raf : 188)

Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!
 
Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.
 
Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharapkan syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan permohonan yang diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawassul.

Ayat Az-Zumar : 3 diatas yang oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan...., tapi diayat ini menyebutkan; Kami tidak menyembah mereka melainkan.....

Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutu- kan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu, mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah.

Kaum musyrikin meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara bebas, dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan soal tawassul atau tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah sesuatu selain Allah’.
 
Ayat-ayat yang telah dikemukakan diatas, itu ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada Allah swt. dan tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah.

Ayat-ayat diatas juga menunjukkan sikap dan pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya tidak dibenarkan. Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta sesembahan lainnya yang mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya, bukan hanya sebagai sekedar wasithah sebagaimana menurut ucapan mereka untuk mendekatkan hubungan mereka dengan Allah.

Kalau kaum musyrikin benar-benar memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah, maka mereka tidak akan menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya. Juga kalau kaum musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka tentu dalam perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan atau keimanan kaum musyrikin bahwa berhala Hubal bukan sebagai wasithah tapi sebagai Tuhan mereka, dengan sendirinya keimananan kaum musyrikin jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang bertawassul tersebut.

Bila golongan pengingkar tawassul ini konsekwen dan adil dengan berdalil surat Al-Jin:18 ini mereka harus melarang semua orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang baik itu Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin yang masih hidup maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu‘....janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’ tanpa menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih hidup. Tetapi sayangnya mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang tawassul dan mengartikan ayat Ilahi dan Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri dan secara tektstual, sehingga sering berlawanan dengan pahamnya sendiri. Jadi tidak lain firman Allah swt.tersebut ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan Allah swt. dengan sesembahan yang lain, sedangkan orang yang bertawassul berdo’a dan menyembah kepada Allah swt. dan tidak menyekutukannya!!

Selain telah kami singgung baik dalam kajian sebelum ini maupun kajian sesudah ini, bahwa beberapa Nabiyyullah yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah dan tawassul. Nabi kita Muhammad saw. sebagai penghulu para nabi dan Rasul bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah swt.. pun telah membiarkan orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul padanya. Jika mencari berkah (baca mengenai tabarruk pada kajian berikutnya) dan tawassul adalah haram,syirik atau perbuatan ghuluw maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah orang yang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain untuk bertabarruk atau bertawassul. Namun, mengapa justru mereka malah melakukannya? Begitu juga para sahabat Rasulallah saw. dan para ulama pakar telah mengamalkan semuanya ini.

Apa yang di-isukan oleh golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang dimaksud Al-Qur’an, hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam madzhab, juga jauh dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.

Golongan pengingkar juga berdalil pada hadits shohih berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi bahwa Rasulallah saw. bersabda pada sahabatnya sebagai berikut:

إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ , وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَليْـَكَ

“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimupun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.

Juga didalam Majma’ul Kabir Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya Rasulallah saw. ada seseorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu !’. Kepada mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu tidak dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah”.

Masih banyak orang yang memahami hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka berpedoman semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah syirik (keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘SebabPertama’ yang berkenan menolong anda yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan ini adalah Allah swt..

Hadits-hadits diatas tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara, tidak lebih dari itu !

Begitu juga kalau semua pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar, syirik maka Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi Sulaiman as pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml : 38-40), karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as. seorang nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab dan bisa minta langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada ummatnya dalam hal yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak memilik kedudukan nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan washitah/ perantara bagi beliau.

Begitu juga riwayat nabi Yusuf a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang tuna netra disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf a.s., juga beliau setelah mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf as bisa melihat kembali. Padahal kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah meyakini dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang itu sangat penting dalam syari’at Islam.

Mengapa nabi Yusuf a.s. tidak langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat kembali tanpa harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ? Jadi ghamish itu juga bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa dikatakan pengambilan barokah (tabarruk).

Bila tawassul atau minta tolong pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu dilarang/diharamkan oleh agama, maka Rasulallah saw. tidak akan menceriterakan mengenai Nabi Adam as. yang waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan riwayat-riwayat tawassul yang telah kami kemukakan pada kajian sebelumnya.

Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki bisa menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus melalui Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini, semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal lain-lainnya adalah Allah swt., sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul .Sekali lagi sudah tentu orang yang ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan dicintai oleh Allah swt.

Penghormatan, pemuliaan, tawassul dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang shalih lainnya itu juga mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji dan dimuliakan. Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir siang malam, baik berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir. Berapa banyak firman ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan dan pahala orang-orang yang sering berdzikir.

Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :

اَلآ اِنَّ اَوْلِيَاءَ الله لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكاَنُوْا يَتَّقُونَ

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.

Hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami didalam Masnadul-Firdaus berasal dari Mu’adz bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :

ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ.

“Ingat kepada para Nabi adalah bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin adalah kaffarah (menebus dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat kuburan mendekatkan kalian kepada surga”.

Ibnu Babuwaih didalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:

ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ) عِبَادَة

“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.

Dengan adanya firman Allah dan hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa para sahabat Nabi saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga dicintai dan dipuji-puji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak berdzikir pada Allah swt. Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang baik.Sebagaimana firman Allah swt.:

وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينِ

“Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para sholihin). (At-Taubah : 119)

Perjalanan dan gerak-gerik mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan Allah swt. dan segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt. Dengan demikian panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang selalu makbul, tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan barokah) dari tempat dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah pada Allah swt dan sebagainya (baca kajian berikutnya). Wallahua'lam.

Share :

0 Response to "BAB-9G. Diantara Dalil-Dalil Orang Yang Membantah Serta Jawabannya"

Posting Komentar