BAB-7N. Mencukur Jenggot Atau Memelihara Jenggot


  Ada diantara kaum muslimin yang suka memelihara jenggot sering mengeluarkan pernyataan bahwa mencukur jenggot itu hukumnya haram dan menyerupai orang-orang musyrik. Selanjutnya mereka berkata bahwa Rasulallah saw dan para sahabatnya tidak pernah mencukur jenggot. Mereka juga kurang senang bila bergaul dengan orang yang tidak memelihara jenggot.

Dalam kitab Yas’alunaka fid-din wal hayat jilid 1/23 karangan Dhr.Ahmad Syarbashi terdapat sebuah pertanyaan dari kelompok pemelihara jenggot yang ditujukan kepada seorang Syeikh, yang sedang mengajar disebuah masjid. Pertanyaannya adalah: “Sahkah shalat seseorang yang bermakmum kepada imam yang mencukur jenggot”? Syeikh tersebut menjawab:”Ya, sah shalatnya itu”. Mendengar jawaban tersebut, sang penanya bereaksi keras, sambil berkata: “Tidak!, shalat orang tersebut batal”. Maka terjadilah perdebatan yang sengit.

Orang yang mengatakan bahwa batal shalat dibelakang imam yang tidak memelihara jenggot berarti dia telahmembatalkan shalat jutaan muslimin –baik yang berada dinegara-negara Arab (termasuk saudi arabia) maupun dinegara lainnya– yang mencukur atau tidak memelihara jenggot. Sehingga berlakulah hukum bahwa mereka itu tidak melakukan shalat, karena yang batal sama dengan tidak ada. Begitu juga kalau kita membaca hadits Rasulallah saw bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam tidak disebutkan harus memelihara jenggot atau paling panjang jenggotnya. 

Dari penuturan penanya diatas tersebut, terkadang-kadang kelompok pemelihara jenggot itu sangat keras dan cenderung melecehkan saudara-saudara mereka yang tidak memelihara jenggot dengan tuduhan ‘tidak mau melaksanakan sunnah’ atau dituduh telah melakukan bid’ah sesat. Padahal masalah furu’ tidaklah pantas dijadikan sebagai materi perdebatan sengit, yang sampai memutuskan silatorrohmi diantara kita.

Hadits dari Ibnu Mas’ud yang berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Hendaklah yang menjadi imam itu adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an. Apabila mereka sama-sama pandai dalam membaca Al-Qur’an, maka hendaklah yang paling mengerti tentang sunnah. Apabila mereka sama-sama mengerti tentang sunnah, maka hendaklah yang terlebih dulu melakukan hijrah. Apabila mereka sama-sama terdahulu melakukan hijrah, maka hendaklah yang paling tua umurnya. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain yang sedang berada ditempat kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dirumahnya diatas tempat yang dihormati kecuali dengan izinnya” .Dalam hadits ini jelas menyebutkan ciri-ciri orang yang pantes menjadi imam, tanpa penyebutan yang memelihara jenggot.

Fatwa-fatwa para ulama yang berkaitan dengan memelihara jenggot:

Sebagian besar ulama memakruhkan, sebagian lagi membolehkannya (lihat Ibn ‘Abd al-Barr, al-Tamhîd, juz 24, hal. 145). Salah seorang ulama yang membolehkan memotong sebagian jenggot adalah Imam Malik, sedangkan yang memakruhkan adalah Qadliy ‘Iyadh. Memelihara jenggot, semua ulama sepakat bahkan mayoritas kaum muslimin secara umum mengakui kebaikannya, karena sebagai sunnah Rasulallah saw dan para sahabatnya. Dikalangan ulama, hukum mencukur jenggot itu terdapat khilaf. Untuk menarik hukum mencukur jenggot dan memelihara jenggot harus diketengahkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berbicara tentang pemeliharaan jenggot dan pemangkasan jenggot.

Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang berbicara tentang masalah pemeliharaan jenggot:

– Pada jilid pertama dari Hasyiah kitab Fathul Mun’im karangan Syeikh Muhamad Habibullah As-Syanqithi ketika membicarakan hadits ‘Bedakanlah dirimu dengan orang-orang musyrik, cukur kumis dan pelihara (lebatkan) jenggot, –dalam satu riwayat– dan tinggalkan jenggot itu’, beliau berkata:

 “Tatkala bencana mencukur jenggot telah merajalela diseluruh negeri belahan timur, sampai-sampai mayoritas umat Islam ikut-ikutan mencukur jenggot karena takut ditertawakan orang. Hal itu telah menjadi kebiasaan mereka, maka akupun melakukan pembahasan yang teliti dari sumber aslinya dan sebagai kesimpulanku adalah bolehnya mencukur jenggot itu. Sehingga bagi sebagian ulama ada alternatif lain selain dari melakukan perbuatan haram. Aku berpatokan pada sebuah kaidah ushul dimana bentuk kataaf’il menurut pendapat mayoritas adalah lil-wujub (menunjuk hukum wajib) dan menurut pendapat lainnya adalah lin-nadb (menunjuk hukum sunnah). Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya itu ditafshil. Kalau datangnya dari Allah didalam Al-Qur’an, maka dia lil-wujub. 

Dan jika dari Nabi saw sebagaimana pada hadits tersebut –yang memiliki dua riwayat, satu dengan aufiruu dan satunya lagi dengan a’fuu– maka dia lin-nadb. Pengarang kitabShoohibu Marooqis Shu’ud fii ‘ilmil ushuul ketika membicarakan bentuk kata af’al mengisyaratkan kepada pendapat-pendapat ini. Beliau berkata : ‘Bentuk kata af’il -menurut mayoritas ulama adalah lil-wujub. Satu pendapat mengatakanlin-nadb atau lil-mathlub. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kalau perintah itu dari Allah, maka dia lil-wujubsedangkan kalau dari Rasul, maka dia lin-nadb’”.

– Dalam kitab Fiqih Sunnah terjemahan indonesia oleh Sayid Sabiq ,cetakan pertama tahun 1973,jilid 1 bab sunnah-sunnah dan fitrah dari halaman 73 sampai dengan halaman 83, disitu antara lain disebutkan yang termasuk sebagaisunnah dan fitrah ialah; memotong kuku, menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis atau memanjangkannya dan membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat. Dibuku ini juga ditulis, bahwa memendekkan kumis atau memanjangkannya, kedua-duanya berdasarkan riwayat yang sah, umpamanya dalam hadits Ibnu Umar disebutkan sebagai berikut: “Bahwa Nabi telah bersabda: ‘Lainilah kaum musyrikin, melebatkan jenggot dan memanjangkan kumis’ “. 

Sementara dalam hadits Abu Hurairah ra dikatakan: Telah bersabda Nabi saw: “Lima perkara berupa fithrah, yaitu:‘memotong bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku’”. (HR.Jamaah). Sedangkan dalam hadits dari Zaid bin Arqam ra: “Bahwa Nabi saw, bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, tidaklah termasuk golongan kami’”. (HR.Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya).
 
Dengan demikian tiada terdapat ketentuan, dan mana diantara keduanya (memotong atau memendekkan/memotong kumis) yang patut disebut sunnah. Tetapi prinsipnya ialah agar kumis itu tiada terlalu panjang hingga menyangkut makanan dan minuman, dan supaya kotoran tidak bertumpuk disana.

Selanjutnya dibuku yang sana ini ditulis, bahwa menggunting bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong ataumemanjangkan kumis itu, disunatkan tiap minggu demi menjaga, menyempurnakan kebersihan dan menyenangkan hati karena terdapatnya rambut dibadan menyebabkan kejengkelan dan kegelisahan. Membiarkan semua ini diberi kesempatan selama 40 hari, tidak ada alasan untuk memperpanjangnya lagi setelah itu. Dasarnya adalah hadits Anas ra : “Kami diberi tempo oleh Nabi saw dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menggunting bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari 40 malam”. (HR.Ahmad, Abu Daud dll.)

Dihalaman 76 pada kitab fiqih sunnah sayid sabiq tersebut, tertulis sebagai berikut: “Membiarkan jenggot dan memangkasnya tidak sampai jadi lebat, hingga seseorang tampak berwibawa. Jadi jangan dipendekkan seakan-akan dicukur, tapi jangan pula dibiarkan demikian rupa hingga kelihatan tidak terurus, hanya hendaklah diambil jalan tengah karena demikian itu, adalah baik. Dasarnya adalah hadits dari Ibnu Umar ra: “Telah bersabda Rasulallah saw.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin, melebatkan jenggot dan memendekkan kumis’”. (Disepakati oleh ahli-ahli hadits sementara Bukhori menambahkan: ‘Bila Ibnu Umar naik haji atau ‘umrah, dipegang jenggotnya, dan mana-mana yang berlebih di potong’).

Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa melebatkan jenggot dan memanjangkan atau memendekkan kumis, memotong kuku dan sebagainya termasuk amalan sunnah bukan sebagai wajib, oleh karenanya sayid Sabiq menulis masalah ini dalam bab Sunnah-Sunnah dan Fitrah . Demikianlah tulisan sayid Sabiq.

– Hadits riwayat imam Muslim diatas 'Lainilah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkanlah kumis, dan panjangkanlah jenggot’, imam An-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, bahwa dhahir hadits diatas adalah perintah untuk memanjangkan jenggot, atau membiarkan jenggot tumbuh panjang seperti apa adanya. Qadliy Iyadh menyatakan: ‘Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh.

– Menurut Imam An-Nawawi, para ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351).Sebagian ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.

– Dari ‘Atha dan para ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengantasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir, yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.
Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151). Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagian- nya, dan disunnahkan panjangnya serasi.

– Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426).

– Imam Malik juga memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) harus dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442)

– Menurut Imam Ath-Thabari, para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya.Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya.

– Dalam kitab Al-Halal wal Haram halaman 93 Syeikh Yusuf Qordhowi menjelaskan sebagai berikut : “Dalam hal mencukur jenggot terdapat tiga pendapat:

a. Haram. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dan yang lainnya.
b. Makruh. Pendapat ini disebutkan dalam kitabAl-Fath dari Qodhi ‘Iyadh dan tidak disebutkan dari selain beliau. 
c. Mubah. Pendapat ini diketengahkan oleh sebagian ulama-ulama mutaakhkhirin. 

Mungkin dari tiga pendapat diatas, yang agak mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan makruh. Hal ini karena perintah memelihara jenggot –sebagaimana tersebut dalam hadits itu– tidaklah menunjuk hukum wajib secara pasti, meskipun disebut kan bahwa illatnya adalah untuk membedakan diri dengan orang-orang kafir. Perbandingan yang dekat untuk hal ini adalah adanya perintah didalam hadits untuk menyemir uban agar berbeda dengan orang-orang yahudi dan nashara, dan ternyata sebagian sahabat tidak melaksanakannya. 

Ini menunjukkan bahwa perintah disitu adalah untuk hukum sunnat. Memang benar bahwa tidak ada dinukil adanya seorang pun dari ulama salaf yang mencukur jenggot. Namun mungkin saja yang demikian itu dikarenakan mereka tidak ada keperluan untuk mencukur jenggot dan juga karena itu telah menjadi kebiasaan mereka”. Demikianlah tulisan Syeikh Yusuf Qordhowi.

– Syeikh Dr Ahmad Syarbashi dalam kitabnya Yas’aluunaka fid din wal-hayat jilid VI/370 menjelaskan sebagai berikut : “Sebagian fuqoha (para ahli fiqih) memandang bahwa memelihara jenggot itu termasuk satu perkara wajib. Jumhur ulama memandangnya sebagai perkara sunnat, yang apabila dikerjakan maka diberi pahala dan apabila ditinggalkan maka tidak akan disiksa. Dan sebagian ulama mutaakkhirin memandang bahwa memelihar jenggot adalah satu perbuatan yang tidak masuk dalam substansi perkara-perkara agama”.
 
Dari beberapa penjelasan ulama tentang hukum memelihara jenggot ini, dapatlah diketahui bahwa hanya sebagian ulama yang mengatakan ‘wajib’, sehingga berdampak kepada haramnya mencukur jenggot. Masih ada pendapat lain yang mengatakan ‘makruh’ dan juga yang mengatakan ‘mubah’. Namun sayangnya, kelompok yang memilih hukum‘wajib’ itu telah menyampaikan dakwahnya ketengah-tengah masyarakat dengan cara yang vulgar dan sporadis, bahkan cenderung merendahkan dan menyalahkan pendapat yang selainnya.

Dalil-dalil mereka yang mewajibkan memelihara jenggot:

Diantara dalil yang dipakai untuk mewajibkan memelihara jenggot adalah hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Umar––sebagaimana yang telah dikemukakan dalam tulisan sayid Sabiq––.: ‘Lainilah orang-orang musyrikin, melebatkan jenggot dan memendekkan (menggunting) kumis’. Menurut mereka, hukum asal dari setiap perintah adalah wajib. Dan dalam hal perintah memelihara jenggot mereka memakai hukum asal tersebut.
 
Jawaban:

Menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot, perlu kiranya kami tambahkan lagi wejangan serta penjelasan dari ulama antara lain:

– Syeikh Dr Mahmud Saltut, dalam kitabnya Al-Fatawa, yang berkaitan dengan masalah tersebut. Syeikh Mahmud Saltut berkata: “Apa yang kita ketahui dari hadits-hadits Rasulallah saw bahwa selain dia (hadits) menunjukkan wajib, juga menunjukkan kepada yang lebih utama. Yang diharamkan sama dengan orang-orang musyrik adalah pada perkara-perkara yang berkaitan dengan agama mereka. Adapun dalam hal adat dan kebiasaan umum, maka tidaklah dilarang, tidak makruh dan tidak juga haram. 

Pernah ditanyakan kepada Abu Yusuf ,murid imam Abu Hanifah, sewaktu beliau memakai sandal yang dipaku: ‘Benarkah banyak ulama yang tidak senang kepada sandal yang dipaku, sebab ada persamaan dengan para pendeta…’? Abu Yusuf menjawab: ‘Rasulallah saw biasa memakai sandal yang berbulu dan sandal yang demikian adalah pakaian pendeta’.Dan kalau kita pegangi dasar hukum haram yang didasarkan kepada adat-istiadat orang diluar Islam dan tradisi yang temporer (sementara), maka sekarang ini kita justru berkewajiban melarang orang memelihara jenggot, karena memelihara jenggot termasuk adat para pendeta dan pembesar agama diseluruh dunia (dari agama yahudi, nashara, hindu, pen.). Juga kita wajib mengharamkan memakai topi. 

Dengan demikian, maka kebiasaan umum yang terjadi disuatu masyarakat tidak bisa disangkut-pautkan dengan agama atau kefasikan dan tidak ada hubungannya dengan iman atau kufur. Pada dasarnya, soal pakaian dan hal-hal lain yang bersifat pribadi seperti mencukur jenggot adalah adat-istiadat yang harus tunduk kepada apa yang dikatakan baik oleh lingkungannya. Barangsiapa hidup dalam lingkungan yang menganggap baik sesuatu dari cara-cara tersebut, maka ia akan mengikutinya dan keluar dari kebiasaan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang aneh”. Demikian dikatakan oleh Syeikh Dr.Mahmud Saltut.

– Dr.Abu Zahrah dalam kitabnya Ushulul Fiqh halaman 115 ketika membicarakan tentang ‘perbuatan-perbuatan Rasul’ berkata sebagai berikut: “Pendapat yang mengatakan bahwa memelihara jenggot itu termasuk adat kebiasaan dan bukan termasuk syariat menetapkan bahwa larangan mencukur jenggot itu –sesuai ijma’– tidaklah bersifat mengikat karena dia di-illatkan dengan adanya penyerupaan terhadap orang-orang yahudi dan juga orang-orang ajam (non arab), yang suka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. Dan illat inilah yang menunjukkan bahwa perbuatan Nabi yang memelihara jenggot itu termasuk bagian dari adat kebiasaan. Inilah pendapat yang kami pilih”. Demikianlah pendapat Dr.Abu Zahrah.
 
Tampak jelas dari dua penjelasan terakhir diatas dari dua ulama itu, dimana mereka berdua cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan Nabi saw yang memelihara jenggot itu adalah bagian dari adat kebiasaan yang tentunya ‘tidak wajib’ tetapi sunnah untuk diikuti dan tidak haram untuk disalahi. Memang kalau hadits yang memerintahkan kita untuk membedakan diri dengan orang-orang musyrik itu dijadikan dalil untuk mewajibkanmemelihara jenggot , –karena orang-orang musyrik dizaman Nabi dan para sahabat suka mencukur jenggot– maka sekarang ini justru orang-orang yang memelihara jenggot itu wajib mencukur jenggotnya karena kalau tidak, mereka kelihatan sama dengan orang-orang musyrik.

 Kita sekarang bisa lihat sendiri betapa banyaknya para pendeta kristen terutama yang berdomicili di timur tengah, para rabin yang beragama yahudi, para pedanda yang beragama hindu dan pembesar-pembesar agama lainnya, mereka semua adalah orang-orang musyrik yang suka juga memelihara jenggot. Jadi kalau orang yang memelihara jenggot tidak mencukur jenggotnya, maka akan kelihatan sama dengan orang-orang musyrik itu dan mereka tidak melaksanakan hadits yang memerintah kan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik.

 Karena adanya konsekwensi hukum yang seperti inilah, maka kedua ulama kenamaan diatas tidak menjadikan hadits tersebut sebagai dalil untuk mewajibkan memelihara jenggot. Sekali lagi, tidak ada yang mengingkari kebaikan dari memelihara jenggot itu. Yang diingkari hanyalah mem-vulgarkan hukum memelihara jenggot dan menyerukannya secara sporadis, tanpa sedikitpun mempertimbangkan pendapat-pendapat ulama lainnya.

 Dan cara dakwah yang seperti ini telah berimplikasi kepada tuduhan bahwa orang yang mencukur jenggot itu telah melakukan perbuatan yang haram. Begitu juga dengan semua keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa memangkas sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedangkan mencukurnya hingga habis, hukumnya adalahmakruh tidak sampai ke derajat haram. Adapun hukum memeliharanya adalah sunnah (mandub). Wallahu a’lam.

Share :

0 Response to "BAB-7N. Mencukur Jenggot Atau Memelihara Jenggot"

Posting Komentar