BAB-8E. Masalah Berdiri Waktu Pembacaan Maulid


  Mengenai soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar dan tidak berdasar. Sepanjang pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.

Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk lagi bahwa mereka beranggapankemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama sekali tidak pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini termasuk 'kekurang-ajaran'terhadap kedudukan Rasulallah saw.
 
Tidak ada orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya kecuali orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan seperti itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh (bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw., orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..

- Imam Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’ adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”. Salman Al-Farisi ra (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut keinginannya”.Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’ yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.

(Lihat dua hadits terakhir diatas ini, kalau bahwa seorang mu’min bisa bepergian kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw.! Ini semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah swt. terhadap hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang terbatas ini, sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra : 85).. --pen--.)

Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama sekali tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya ( yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt.

 Soal kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri, kawasan dan daerah. Para ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.

Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanji. Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw. dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
 
Dalam sebuah pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri diatas kaki sambil berenung sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.) karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau disebut, bahkan beliau mendekatinya’.

Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah Rosyidun yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan mereka itu mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang mensunnahkan berdiri.

Syeikh Al-Barzanjiy berkata: 'Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi (dzihn). Membayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish. Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada beliau saw., yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak melanggar ketentuan syari’at '.

Memang benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.

Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah. Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara khusus menolak pendapat Imam Nawawi dengan menulis bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.
 
Sebuah hadits Muttafaq ‘alaih ( HR.bukhori nr.2878, Muslim hadits nr.1768) meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat pemimpin kalian’.

Yang dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad. Begitu juga mengenai berdirinya Thalhah ra untuk Kaáb bin Malik ra.

- Imam al-Khattabi berkata bahwa berdirinya orang bawahan untuk majikannya, murid untuk kedatangan gurunya dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan semacamnya itu, semuanya merupakan hal yang baik, berkata Imam Bukhori yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk.

Imam Nawawi berpendapat bila berdiri untuk penghormatan tidak apa-apa, sebagaimana Nabi saw. berdiri saat kedatangan putrinya Fathimah ra., namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Fathul Baaari Almasyhur juz 11 dan Syarh Imam Nawasi ala shohih Muslim juz 12 hal. 93)

Ada sementara golongan yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut diatas terjadi semasa beliau masih hidup, dan beliau sendiri berada ditengah kaum Anshor, sedangkan dalam peringatan maulid, beliau saw. tidak berada di tengah para hadirin. Sebagai jawaban mengenai ini ialah: Sebagaimana yang telah saya kutip sebelumnya bahwa orang yang membaca kisah maulid Nabi saw. membayangkan kehadiran beliau saw. dalam imajinasinya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau jelas akan menambah penghormatan dan pemuliaan orang kepada beliau saw. Beliau datang ditengah alam jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau saw. seorang Nabi dan Rasul yang menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:

اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي

Artinya: “Aku duduk menyertai orang yang menyebutku”.

Menurut sumber riwayat lain :

اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي

Artinya: “ Aku bersama orang yang menyebutku”.

Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada Allah swt. dan kecintaan Allah swt pada Rasulallah saw. serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.

Begitu pula hadits mengenai bacaan salam kepada Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda:

مَا مِنْ أحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ

Artinya:“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam “. (HR. Abu dawud)

Juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan sampai kepadaku dimana saja kamu berada”.
 
Dengan adanya dalil-dalil diatas tersebut maka para ulama untuk membiasakan berdiri dalam peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran Rasulallah saw., memberi salam serta selawat kepada beliau saw. Berdiri dalam acara maulid ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin baik dari golongan awam atau ulamanya dalam berbagai madzhab di berbagai negeri, kawasan dan daerah.

Ada orang yang menafsirkan hadits riwayat Abu Daud terakhir diatas ini secara keliru, yang mana mereka berkata bahwa kita tidak boleh (bid’ah) ziarah pada Rasulallah saw. karena cukup dengan membaca selawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai. Ini adalah penafsiran yang salah. Sebenarnya yang dimaksud sabda Nabi tersebut adalah “janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata hanya untuk mengucapkan selawat dan salam dimuka makam Rasulallah saw., karena membaca selawat dan salam akan sampai pada beliau saw. dimana kita berada, jadi tidak harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”.

Sedangkan kalimat hadits ‘sebagai tempat perayaan’ artinya ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai (dimuka makam Rasulallah aw.) seperti halnya orang yang pergi berpesta, tapi kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau saw. dan berdo’a pada Allah swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang mendidik tatakrama kepada ummat Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Hujurat: 2/3/4 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi ...sampai akhir ayat).

Menurut pandangan ulama ,antara lain Imam Malik bin Anas ra, firman Ilahi ini juga berlaku baik dikala beliau saw. masih hidup mau pun beliau setelah wafat. Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di Madinah, di masjid haram ini ada tertulis ayat Al-hujurat tersebut, dengan demikian orang-orang yang membaca dan mengerti artinya akan tidak berisik dimuka makam Nabi saw. tidak lain semuanya sebagai tata krama terhadap junjungan kita Rasulallah saw.

Para hadirin pada umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanji atau kitab maulid lainnya, yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita. Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya peringatan maulid, mereka mengharap kanberkah dan pahala karena ikut hadir dalam mengagungkan kebesaran Allah dan mencintai Rasul-Nya. 

Kegembiraan mereka menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhammad saw. adalah kebajikan, lebih-lebih lagi jika kegembiraan itu disertai dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ma’ruf dan ihsan, seperti menyediakan makanan dan minuman bagi kaum fakir miskin, walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada Allah swt. mohon diberi kemantepan iman, mohon keselamatan bagi semua kaum muslimin dan lain sebagainya. Semuanya ini merupakan kegiatan yang baik dan patut dipuji, karena dalam jama’ah/ kumpulan tersebut terdapatbarokah (baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini).

Dalam hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan: 'Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam pandangan Allah swt. dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk dalam pandangan Allah'.

 Hadits ini memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. dengan acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir, tilawatul Qur’an, ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, yang semuanya ini disunnahkan oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at).

Demikianlah sebagian uraian para pakar Islam mengenai peringatan maulid Nabi saw. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain sebagainya, dengan memasukkan dalil-dalil yang semuanya itu tidak ada kaitannya dengan masalah tersebut.

Share :

0 Response to "BAB-8E. Masalah Berdiri Waktu Pembacaan Maulid"

Posting Komentar