BAB-7E. Fatwa-Fatwa Para Ulama Tentang Pengertian Wali (Waliyullah) :



- Fatwa Ibnu Hajar Al-Haitami (Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal. 93 cet.Dar Al-Fikr) tentang ‘Tidak mungkin wali itu seorang yang bodoh dan ilmu syari’at hanya bisa didapat dengan belajar’:
“Ditanyakan kepada beliau (Ibnu Hajar) semoga Allah memberikan manfaat tentang arti ucapan para ulama; ‘Bahwa Allah tidak akan menjadikan wali yang bodoh dan jika seandainya dijadikan wali pasti diajarkan ilmu kepadanya’.

Beliau menjawab: ‘Pengertian dari perkataan diatas adalah bahwa sesungguhnya Allah itu akan melimpahkan karunia berupa ilham, taufik, pengalaman-pengalaman spiritual dan ilmu kasunyatan kepada wali-walinya, melebihi manusia lainnya, setelah mereka mengukuhkan hukum-hukum dhohir dan amal-amal yang ikhlas. Barangsiapa menyandang pangkat kewalian dimana kesempurnaannya tidak mungkin didapat kecuali syarat diatas, maka ia akan memperoleh ilmu-ilmu dan kema’rifatan seperti yang diterangkan diatas.

 Dengan demikian Allah tidak akan mengangkat wali yang bodoh mengenai hal-hal diatas. Dan seandainya Allah menjadikan atau memberikan derajat kewalian kepada para Auliya, niscaya ia akan diajari (diberi ilham) pengetahuan-pengetahuan (kema’rifatan-kema’rifatan) sehingga bisa menyamai yang lainnya.

Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bodoh disini adalah bodoh mengenai ilmu yang langsung diberikan Allah (ilmu laduni) dan pengalaman spiritual yang sempurna, bukan orang yang bodoh mengenai ilmu-ilmu syari’at dhohir yang memang wajib dipelajari. Karena orang yang seperti ini (bodoh ilmu syari’at) tidak akan bisa menjadi wali dan selama masih dalam kebodohan tidak akan dikehendaki mendapat pangkat kewalian. 

Namun ketika Allah menghendaki seseorang untuk menjadi wali, niscaya akan di berikan hasrat untuk mau mempelajari ilmu syari’at dhohir. Karena ilmu syari’at tidak bisa diajarkan melalui ilham. Dan ketika ia mempelajari ilmu dhohir dan memperkuat amal ibadahnya, maka akan mendapat limpahan ilmu-ilmu ghaib yang tidak bisa didapat dengan usaha dan kesungguhan. Dengan keterangan diatas maka bisa diketahui bahwa sesungguhnya ilmu syari’at itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan pendidikan yang nyata”.

- Fatwa Syeikh Abu Utsman Al-Maghrobi (ibid) tentang Wali yang terkenal kewaliannya:

“Abu Utsman berkata:Wali itu terkadang masyhur, namun tidak menjadikan ia terfitnah atas kemasyhurannya. Justru kemasyhuran itu menjadi berkah bagi dirinya dan bagi orang lain”.
 Fatwa Syeikh Sa’id yang dinukil oleh Syeikh Ibnu Mudabighi (Sirojut-tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi hal. 16, juz 1, cet.Al-Hidayah) tentang pengertian Wali:
“Auliya itu jamaknya Wali, yaitu orang yang ma’rifat terhadap Allah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah, menjalani taat (perintah Allah), menjauhi larangan dan berpaling dari bujukan lezatnya dunia dan syahwat”.

- Fatwa Al-Yuusi (Syarh Kifayatul Awam, hal. 42) tentang Syarat-syarat seseorang bisa mencapai derajat wali:
“Al-Yuusi dengan mengutip pendapat sebagian A’immah (para imam) mengatakan;

Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat:

a). Mengetahui ushul ad-din, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga antara Nabi dan orang yang mengaku menjadi Nabi.
b). Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara Naqli (nash) maupun dalam pemaham an dalil dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.
c). Mempunyai sifat-sifat terpuji . Seperti: wira’i dan ikhlas dalam setiap amal.
d). Selama-lamanya dalam keadaan takut , tidak pernah merasa tenang sekejap pun, karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang-orang beruntung ataukah orang-orang celaka?

- Fatwa Syeikh Ihsan bin Dahlan (Sirojut Tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal.17) tentang Tanda-tanda seorang wali:

“Dikatakan bahwa tanda-tanda wali itu ada tiga: 1.Selalu sibuk dengan Allah. 2. lari kepada Allah 3. tujuannya semata-mata hanya kepada Allah.

- Fatwa Abu Turob An-Nakhsya’i (ibid) tentang ‘Sifat Wali’ :

“Seperti yang dikomentarkan para ulama; bahwa kriteria seorang wali harus tidak mempunyai perasaan cemas. Karenaperasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa-masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenangan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan Wali adalah anak waktu ia tidak pernah berandal-andal tentang masa-masa mendatang, juga tidak mempunyai rasa cemasdan tidak punya harapan. Karena yang namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangan atau akan hilangnya kesusahan”.

- Fatwa Abul Qosim (ibid) tentang ‘Khilafiyah ulama apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya wali’?:

“Abul Qasim berkata: ‘Para ulama berselisih pendapat, apakah seorang Wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk Wali? Sebagian ulama mengatakan tidak mengetahui, karena seorang Wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa takut, jangan-jangan hal itu termasuk tipu daya setan. Dan sebagian Ulama mengatakan; seorang wali bisa mengetahui bahwa dirinya itu wali”.

- Fatwa Al-Imam As-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhamad Al-Haddad (Risalatul Mu’awanah hal.13,cet.Al-Hidayah) tentang ‘Orang-orang yang mempunyai Khowariqul adat namun perilakunya tidak sesuai dengan syari’at’ :

“Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berpegang dengan Al-Qur’an dan sunnah, juga tidak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul, kemudian dia mengaku mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan diatas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam itu bisa dilakukan setan, tukang sihir, juru ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan yang samar dan para ahli perbintangan. Mereka (yang tidak berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul) semua ini termasuk orang-orang yang sesat”.

- Fatwa Al-Imam As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Majmu’u Fatawi wa Rosail, hal.200) tentang Ilham dan Firasat:

“Berkata para ‘Arifin: bahwa Ilham dan firasat dari orang yang amal-amalnya dijaga oleh Allah baik dhohir maupun bathinnya (para wali) bisa dibuat pegangan (dalil/hujjah). Sedangkan para Ushuliyyin (ahli ushul fiqih) mengatakan: ‘Ilham atau firasat tidak bisa dibuat pegangan’. Pendapat kaum ushuliyyin ini diarahkan untuk ilham dan firasat dari selainorang-orang yang telah disebutkan diatas (yakni orang yang terjaga amalnya) dan keluar dari kaidah-kaidah firasat yang dibenarkan menurut syari’at. Hal itu bisa diketahui dengan tanda-tanda dan pembuktian”.

- Fatwa Abi Bakr Al-Kattani (Karomatul Auliya’, Muqodimah, Yusuf bin Ismail An-Nabhani) tentang ‘Derajat para wali dan tempat tinggalnya’:

“Disebutkan dalam kitab tarikhnya Imam Khotib, dari Abi Bakar Al-Kattani. Beliau berkata: ‘Bahwa Wali Nuqoba’ berjumlah tiga ratus. Wali Nujaba’ berjumlah tujuh puluh. Wali Abdal berjumlah empat puluh. Wali Akhyar ada tujuh. Wali ‘Amd ada empat dan Wali Ghouts ada satu. Tempat tinggal wali Nuqoba’ dinegeri maghribi (maroko), Wali Nujaba’ di Mesir, Wali Abdal di Syam (syria), Wali Akhyar berkelana diatas bumi. Wali ‘Amd berada diempat penjuru bumi dan Wali Ghouts berdiam di Mekkah”.

- Fatwa Yusuf An-Nabhani (Ibid) tentang ‘Pengertian Wali Qutb’ :

“Diantara auliya itu ada yang disebut dengan istilah wali-wali qutb (aqthob), mereka adalah wali-wali yang menguasai segenap ahwaal dan maqomaat (tahapan-tahapan dan pengalaman spiritual dalam dunia tashawwuf). Wali yang mempunyai derajat ini (Qutb) hanya ada satu pada setiap zaman. Wali Qutb juga disebut wali Ghouts. 

Wali Qutb termasuk golongan muqorrobin dan sekaligus menjadi pemimpin mereka. Wali-wali qutb ini ada yang menguasai pemerintahan dhohir dan juga pemerintahan bathin seperti Abubakar (as-shiddiq), Umar (bin khattab), Utsman (bin ‘affan), Ali (bin abi Thalib), Hasan (bin Ali bin Abi Thalib), Muawiyah bin Yazid dan (khalifah) Umar bin Abdul Aziz.Kemudian juga ada yang menguasai khilafah batin saja seperti Ahmad bin Harun Ar-Rosyid as-Sibti, Abi Yazid Al-Basytomi. Kebanyakan dari wali-wali Qutb ini tidak menguasai pemerintahan dhohir”.

- Fatwa Syeikh Ali Al-Kowash (Rosail Ibnu ‘Abidin juz II,hal. 274) tentang ‘Wali Qutb sebagai poros alam dan segala ahwalnya’:

“Keterangan terdahulu telah menjelaskan bahwa Wali Qutb bermukim di Mekkah atau Yaman. Kelihatannya keterangan ini memandang pada sebagian waktu saja atau memandang pada kebanyakan waktunya (tidak terus-terusan berada di Mekkah atau Yaman). Hal ini dikuatkan oleh keterangan yang dikutip oleh Al-Imam Al-Arif Sayidi Abd.Wahhab Asy-Sya’roni dari gurunya Al-Arif dzil Imdad Ar-Robbani sayyidi Al Al-Khowaash. Dimana Asy-Sya’roni mengatakan didalam kitabnya yang berjudul Al-jawahir wa ad-durar: ‘Aku pernah bertanya kepada guruk Rodhiyallahu anhu, apakah wali Qutb, Ghouts selalu bermukim di Mekkah?, seperti yang sering dikomentarkan para ulama’.

Guruku menjawab: ‘Bahwa hatinya seorang wali Qutb selalu bertawaf mengelilingi Hadratillah dan tidak pernah lepas darinya seperti halnya manusia bertawaf mengelilingi Baitul Haram. Wali Qutb selalu syuhud pada dzat yang Maha Haqdalam segala arah dan dari segala arahdan tidak berarti yang Maha Haq itu bersemayam pada dirinya!! Seperti halnya ketika manusia itu melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah sungguh Allah swt. itu punya sifat yang Maha Tinggi!! Selain itu seorang wali Qutb selalu menghadang apa yang diberikan Allah swt untuk para makhluk-Nya, baik berupa bencana maupun berbagai macam pertolongan (menjadi perantara). Wali Qutb selalu merasakan sakit kepala bukan kepalang, karena beratnya beban yang ia terima. Sedangkan Raqanya tidak harus berada di Mekkah saja”.

- Fatwa Syeikh Ali Al-Khowaash (dalam Rosaail Ibnu Abidin juz II hal.275-276) tentang ‘wali Qutb yang selalu tersembunyi’ :

“Sungguh engkau telah mengetahui dari keterangan yang telah lewat, bahwa sesungguhnya seorang wali Qutb selalu menyembunyikan diri dari kebanyakan manusia, tidak ada yang pernah melihat kecuali orang-orang tertentu. Karena besarnya beban yang ditanggung, yang datang silih berganti dan juga beratnya muatan musibah yang tidak akan mampu disandang para makhluk dan juga karena agungnya wibawa dan ketenangan yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hampir-hampir tidak ada mata yang menangkapnya. Imam Asy-Sya’roni memberikan penjelasan secara gambling didalam kitabnya beliau mengatakan bahwa gurunya (Ali Al-Khowash) ra pernah mengatakan;

 Kebanyakan Auliya tidak pernah bisa ketemu dengan wali Qutb dan juga tidak mengenalnya. Apalagi untuk selain mereka, sebab keadaan wali Qutb tersembunyi. Seandainya wali Qutb itu menampakkan diri, niscaya tak seorangpun mampu mengangkat kepalanya ketika berada dihadapannya. Kecuali orang-orang yang diberi keistemewaan, untuk berjumpa dengannya”.

-Tentang Para Wali A’Immah (Ibid):

“Diantara para Wali itu ada yang disebut dengan istilah Wali-wali A’immah. Setiap zaman tidak lebih dari dua, yang satu berjuluk Abdur Robbi, yang lain berjuluk Abul Malik, sedangkan wali qutb berjuluk Abdullah. Dua wali Aimmah ini akan menggantikan kedudukan wali Qutb yang wafat. Salah satu diantara mata hatinya hanya tertambat dialam malakut sedangkan yang lainnya menyaksikan alam dunia”.

- Syeikh Ihsan bin Dahlan dalam Siroj Ath-Tholibin juz. II hal. 426 mengatakan: 

“Bahwa semua ilmu para Aimmah (para Imam) mujtahidin merupakan ilmu Al-Mukasyafah (ilmu laduni). Hanya saja mereka itu pandai sekali mengungkapkan kasynya dalam kata-kata yang mudah dipahami oleh orang-orang awam”.

- Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyah hal.232) tentang ‘kedudukan Asy-Syafi’i sebagai Wali Autad dan sempat menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafat’:

“Imam Ahmad (bin Hanbal) ra berkata: ‘Kalau bukan ahli hadits siapa lagi mereka (para wali Abdal) itu’. Yang dimaksud ahli hadits adalah orang-orang yang pengetahuannya menyamai para ahli hadits. Yaitu orang-orang menguasai ilmu dhohir dan ilmu bathin dan juga sangat menguasai hukum-hukum syari’at, hikmah, ma’rifat dan rahasia-rahasia kehidupan. Mereka itu seperti Asy-Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang menyamainya. 

Mereka itu termasuk pilihan dari para wali Abdal, Nujaba’ dan Autad. Untuk itu hindarilah persangkaan yang buruk tentang mereka, jangan sampai tergoda setan dan orang-orang yang dikuasainya sehingga tidak mendapat cahaya Hidayah, dimana mereka berpendapat bahwa para imam Mujtahid tidak mencapai tingkatan ini.

 Sungguh para ulama telah sepakat bahwa Asy-Syafi’i ra termasuk golongan wali Autad. Dan menurut satu riwayat beliau menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafatnya. Demikian ini keterangan yang diperoleh dari sebagian fuqoha yang menjadi pengikut beliau, seperti An-Nawawi atau yang lainnya”.

- Fatwa Yusuf An-Nabhani (ibid) tentang ‘Wali Autad’: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Autad. Pada setiap zaman hanya ada empat, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka berjuluk Abdul Hayyi, Abdul Alin, Abdul Qadir dan Abdul Murid”.

- Fatwa Syeik Akbar (Sirojut-Tolibin Syeikh Ihsan Bin Dahlan Al-Jampesi, juz.1 hal. 263, cet.Al-Hidayah) tentang ‘para wali Autad’:

“Wali Autad ialah: ‘Wali yang digunakan Allah untuk menjaga alam ini, mereka berjumlah empat dan mereka lebih khusus dari Abdal.
 
Wali Abdal: Diantara para wali itu ada yang disebut wali Abdal mereka berjumlah tujuh orang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka ditugaskan Allah untuk menjaga tujuh kawasan. Setiap orang menguasai satu wilayah.(Karomatul Auliya, Muqoddimah, An-Nabhani)

Ciri-ciri wali Abdal: “Sebagian ulama berkata; ciri-ciri wali itu tidak mempunyai anak” (Sirojut-Tholibin, syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal. 262)

- Fatwa Imam Ahmad (bin Hanbal): Beliau berkata; Wali-wali Abdal itu siapa lagi kalau bukan ahli hadits” (ibid).

- Menurut Abu Darda (ibid): “Wali abdal adalah para kholifah Nabi. Mereka adalah tiang-tiang bumi, ketika derajat kenabian sirna (dicabut), maka Allah menggantikan dengan segolongan dari umat Muhamad saw. Mereka mendapat keistemewaan ini bukan karena banyak berpuasa atau sholat atau karena melakukan amal-amal dzikir, namun hanya dengan bersungguh-sungguh dalam wira’i, baiknya/tulusnya niat, lapang dada kepada kaum muslimin, memberi nasehat kepada mereka dengan mengharap ridho Allah swt dengan disertai kesabaran bukan karena takut dan tawadhu’ tanpa merendahkan martabat” .

- Wali Nuqaba: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Nuqaba, mereka berjumlah dua belas orang pada setiap zamannya tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kumpulan bintang-bintang dicakrawala. Karena masing-masing dari wali nuqoba’ menguasai rahasia-rahasia dari kumpulan bintang-bintang itu” (Karomatul Auliya’, Muqoddimah, An-Nabhani). Wallahua'lam.

Share :

0 Response to "BAB-7E. Fatwa-Fatwa Para Ulama Tentang Pengertian Wali (Waliyullah) :"

Posting Komentar